ARTIKEL JURNAL
Lembaga Damai dalam Proses
Penyelesaian
Perkara Perdata di
Pengadilan
Mahyuni
Fakultas
Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
Jl.
Brigjend H. Hasan Basry Banjarmasin
mahyuni
_pasca@yahoo.co.id
Abstract
The implementation of
conciliation council in civil cases is urgently needed to give sense of justice
among parties and to give limitation of cassation process. The limitation of
cassation process is either substantively or procedurally. It is executed in
order to reach reconciliation among parties which is stated on article 130
HIR/154 R.Bg. supreme Court had noticed to all judged by The Supreme Court
Instruction No. 1/2002, that judged should act as a mediator in conciliation
council and they gives a beneficial proposition for parties to entered negotiation
in order to settle the dispute.
Key Word: civil case, conciliation council,
and mediation
Penerapan dewan konsiliasi dalam kasus sipil sangat diperlukan untuk
memberikan rasa keadilan bagi semua pihak dan juga membatasi proses kasasi,
baik proses kasasi secara substansial maupun prosedural. Hal ini dilakukan
untuk mendamaikan pihak yang berperkara seperti halnya yang tertuang dalam
Pasal 130 HIR/154 R.Bg. Mahkamah Agung melalui instruksi Mahkamah Agung
No.I/2002 telah memerintahkan para hakim agar menjadi penengah dalam dewan
konsiliasi dan memberikan saran yang menguntungkan bagi semua pihak untuk penyelesaian
perselisihan.
Kata Kunci:
kasus sipil, dewan konsiliasi, dan mediasi
534 JURNAL HUKUM
NO.4 VOL.16 OKTOBER
2009: 533-550
|
|
Pendahuluan
Sengketa
adalah hal yang terjadi antara dua pihak atau lebih, karena adanya salah satu
pihak yang merasa tidak puas atau merasa dirugikan. Pada prinsipnya pihak-pihak
yang bersengketa diberikan kebebasan untuk menentukan pilihan penyelesaian
sengketa yang dikehendaki. Menurut Laura Nader dan Harry F. Todd, menentukan
tahapan suatu sengketa, yaitu:
Pertama, pra
konflik, yang mendasari rasa tidak puas seseorang;
Kedua, Konflik keadaan dimana para pihak menyadari atau mengetahui
tentang adanya perasaan tidak puas tersebut;
Ketiga, sengketa dimana konflik tersebut dinyatakan di muka umum
atau dengan melibatkan pihak ketiga.
Menurut Coser, pertentangan dan perjuangan yang bersifat langsung dan disadari
antara individu atau kelompok untuk memperoleh pengakuan status, kekuasaan,
pengaruh dan sumber daya.
Selanjutnya Achmad Febyani Saifuddin menjelaskan:
“
Konflik adalah pertentangan yang bersifat
langsung dan disadari antara individu-individu atau kelompok untuk mencapai
tujuan yang sama. Kekalahan pihak lawan dianggap sangat penting dalam mencapai
tujuan. Dalam konflik, orientasi ke arah pihak lawan lebih penting dari pada
objek yang hendak dicapai. Dalam kenyataan, karena berkembangnya rasa kebencian
yang makin mendalam, pencapaian tujuan seringkali menjadi sekunder sedangkan
pihak lawan yang dihadapi jauh lebih penting”.
Pihak-pihak
yang bersengketa diberi kebebasan untuk menentukan mekanisme pilihan
penyelesaian sengketa yang dikehendaki, apakah akan diselesaikan melalui jalur
litigasi (pengadilan) ataupun melalui jalur non-litigasi (di luar pengadilan)
dengan menggunakan ADR (Alternative
Dispute Resolution), sepanjang tidak ditentukan sebaliknya dalam peraturan
perundang-undangan.
Penyelesaian
perkara dengan menggunakan ADR mulai tampak dan dikembangkan di Indonesia. Hal
ini sejalan dengan maraknya kegiatan perdagangan dunia yang tidak mungkin
dihindari terjadinya sengketa antar pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan
perdagangan tersebut. Penyelesaian sengketa secara litigasi (melalui
pengadilan) dianggap terlalu lama dalam proses penyelesaian perkara yang dalam
dunia bisnis dianggap tidak menguntungkan dan tidak sesuai dengan perkembangan
zaman. Salah satu metode untuk penyelesaian sengketa efektif dan efisien adalah
dengan ADR karena memiliki sistem penyelesaian sengketa dengan cepat dan biaya
murah (quick and lower in time and money
to the parties). Oleh karena sistem penyelesaian sengketa melalui ADR yang
diatur dalam regleman on de rechtvording tidak
sesuai lagi dengan kebutuhan perdagangan saat ini, maka dipandang perlu untuk
membuat peraturan perundang-undangan yang baru, yang sesuai dengan kondisi
zaman.
Pada 12
Agustus 1999 Pemerintah RI telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Sebelum masalah
ini diatur dalam Reglement on de
bergerlijke rechtsvordering (reglement
hukum acara perdata) yang disingkat Rv.S.1847-52 Jo 1849-63. Ketentuan ini
diberlakukan oleh pemerintah Indonesia berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945 untuk mengisi kekosongan hukum. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tidak hanya mengatur tentang arbitrase salah satu alternatif penyelesaian
sengketa, tetapi diatur juga tentang alternatif penyelesaian perkara dalam
bentuk yang lain seperti negosiasi, konsiliasi dan mediasi. Sedangkan yang
dimaksud dengan alternatif penyelesaian sengketa adalah pranata penyelesaian
sengketa di luar pengadilan atau dengan cara mengesampingkan penyelesaian
secara litigasi di pengadilan negeri. Penyelesaian dapat dilakukan sendiri oleh
para pihak dalam bentuk negosiasi, dapat pula melalui bantuan pihak ketiga yang
netral di luar para pihak yang disebut mediasi, media damai atau konsiliasi dan
dapat pula dilaksanakan penyelesaian melalui arbitrase.
Dewasa ini
perkembangan penyelesaian perkara di Pengadilan dengan menggunakan ADR mulai
tampak dan dikembangkan di Indonesia. Cara penyelesaian sengketa yang dipilih
dengan penerapan Lembaga Damai dalam proses perkara perdata di pengadilan, hal
ini bertujuan untuk memberikan kepuasan bagi masyarakat pencari keadilan dan
dalam rangka pembatalan perkara kasasi yang menumpuk di Mahkamah Agung. Dalam
proses perkara perdata di pengadilan perdamaian tidak hanya bisa diusahakan
hakim pada sidang pertama saja, akan tetapi dapat terus dilakukan sebelum ada
putusan.
Persoalan yang akan dikaji melalui tulisan ini adalah bagaimana penerapan
lembaga damai dalam proses perkara perdata di pengadilan?
536 JURNAL HUKUM
NO.4 VOL.16 OKTOBER
2009: 533-550
|
|
Lembaga Damai
atau Konsiliasi
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, konsiliasi diartikan sebagai usaha mempertemukan keinginan
pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan penyelesaian perselisihan.
Konsiliasi dapat juga diartikan sebagai upaya membawa pihak-pihak yang
bersengketa untuk menyelesaikan permasalahan antara kedua belah pihak secara
negosiasi. Konsiliasi, adalah suatu proses penyelesaian sengketa alternatif
yang melibatkan pihak ketiga atau lebih, dimana pihak ketiga yang
diikutsertakan untuk menyelesaikan sengketa adalah seseorang yang secara
professional sudah dapat dibuktikan kehandalannya.
Konsiliasi
berasal dari bahasa Inggris “Conciliation”
yang berarti perdamaian. Dari beberapa pengertian yang diberikan oleh para
pakar hukum dapat diketahui bahwa konsiliasi tidak berbeda jauh pengertiannya
sebagaimana tersebut dalam Pasal 1851 s/d 1864 KUH Perdata, yakni kesepakatan
para pihak untuk mengakhiri sengketa di luar pengadilan, kesepakatan itu dibuat
tertulis. Berdasarkan Pasal 6 ayat (7) dan (8) Undang-Undang Nomor 30 tahun
1999, kesepakatan tertulis itu harus didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam
waktu 30 hari terhitung sejak tanggal penandatanganan dan dilaksanakan dalam
waktu 30 hari terhitung sejak tanggal pendaftaran di Pengadilan Negeri.
Kesepakatan tertulis hasil konsiliasi bersifat final dan mengikat para pihak
untuk melaksanakannya.
Konsiliasi
adalah cara penyelesaian sengketa secara damai dengan melibatkan pihak ketiga.
Prosedur konsiliasi dilaksanakan secara sukarela. Artinya para pihak dapat
menempuh cara ini apabila kedua belah pihak setuju, dan pelaksanaannya bersifat
rahasia. Namun demikian pelaksanaan tersebut tidak mengurangi hak masing-masing
pihak untuk melangkah ke proses atau tata cara penyelesaian lebih lanjut. Cara
penyelesaian sengketa seperti ini dapat dilaksanakan setiap saat. Begitu pula
para pihak dapat mengakhirinya setiap saat manakala prospek penyelesaiaannya
gagal. Manakala diakhiri pihak pemohon dapat mengajukan pembetulan panel untuk
mengakhiri sengketa.
Konsiliasi
menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 adalah suatu bentuk penyelesaian
sengketa di luar pengadilan dengan tujuan akhir terwujudnya perdamaian di
antara pihak-pihak yang bersengketa. Pelaksanaan konsiliasi ini dapat
dilaksanakan pada tiap tingkat pengadilan yang sedang berlangsung, baik di luar
pengadilan maupun di dalam pengadilan asalkan sengketa tersebut belum dapat
putusan hakim yang diberikan oleh beberapa pakar hukum di negara-negara Eropa
yang mengatakan bahwa konsiliasi itu merupakan langkah awal perdamaian sebelum
sidang pengadilan dilaksanakan. Dalam upaya penyelesaian sengketa, konsiliasi
tidak harus mengadakan pertemuan dan pembicaraan dengan kedua belah pihak di
suatu tempat, tapi bisa dihasilkan shuttle
negotiation antara pihak. Putusan yang diambilnya menjadi resolusi yang dapat
dipaksakan kepada kedua belah pihak.
Pertama sekali
konsiliasi dalam penyelesaian sengketa internasional diatur dalam perjanjian
antara Swedia dan Chili pada tahun 1920 kemudian diikuti oleh negara lain di
Eropa dan pada tahun 1988 The Rule of
Conciliation and Arbitration dibentuk oleh ICC yang terdiri dari 11 pasal.
Dalam peraturan ini ditentukan bahwa semua sengketa yang mempunyai sifat
internasional dapat diserahkan kepada konsiliasi oleh seorang konsiliasi yang
ditunjuk oleh ICC. Para pihak yang mengajukan konsiliator harus mengajukan
permohonan kepada secretariat kamar dagang internasional dengan mengungkapkan
secara ringkas maksud permohonan dan disertai dengan biaya yang ditentukan oleh
ICC.
Adapun
tahap-tahap konsiliasi yang diterapkan oleh ICC sebagai berikut:
1.
Setelah permohonan diterima oleh secretariat
ICC, kepaniteraan pengadilan segera memberitahukan kepada pihak lawan tentang
adanya permohonan konsiliasi tersebut. Pihak tersebut diberi waktu 15 hari
untuk memberitahukan kepaniteraan apakah ia setuju atau menolak untuk ikut
dalam konsiliasi tersebut.
2.
Jika ia bermaksud berpartisipasi dalam
konsiliasi tersebut, maka ia segera memberitahukan kepaniteraan dalam jangka
waktu yang telah ditentukan itu, jika jawaban negative maka dianggap konsiliasi
ditolak dan untuk itu pihak kepaniteraan harus segera memberitahukan kepada
pihak yang mengajukan permohonan.
3.
Jika para pihak setuju diadakan penyelesaian
sengketa dengan konsiliasi, maka kepaniteraan pengadilan segera menunjuk
seorang konsiliator untuk bertindak dalam menyelesaikan sengketa yang mereka
hadapi.
4.
Selanjutnya konsiliator segera memberitahukan kepada
para pihak tentang penunjukkannya dan menetapkan batas waktu kepada para pihak
untuk mengemukakan argumentasi masing-masing. Konsiliator menerapkan model
konsiliasi yang cocok dan sesuai dengan tipe sengketa yang mereka alami dengan
tanpa memihak (impartial), kesamaan (equality) dan keadilan (justice).
5.
Konsiliator menentukan proses konsiliasi harus
dijaga dan juga setiap saat dapat diminta kepada salah satu pihak yang
bersengketa untuk menyerahkan informasi tambahan yang diperlukan dalam rangka
penyelesaian sengketa.
6.
Sifat kerahasiaan proses konsiliasi harus dijaga
dan harus dihormati oleh setiap orang yang terlibat dalam proses konsiliasi,
apapun kapasitasnya.
7.
Proses konsiliasi berakhir berdasarkan
persetujuan para pihak yang bersengketa, persetujuan ini juga harus tetap
bersifat rahasia (confidential)
kecuali ada kesepakatan lain. Atau bisa
juga atas laporan konsiliator
yang menyatakan bahwa proses konsiliasi tidak berhasil. Atau adanya pernyataan
salah satu pihak yang menyatakan bahwa konsiliasi tidak diperlukan lagi sebab
tidak membawa hasil yang diharapkan.
538 JURNAL HUKUM
NO.4 VOL.16 OKTOBER
2009: 533-550
|
|
ADR di
pengadilan dalam bentuk konsiliasi biasanya dihubungkan dengan Pasal 130 HIR
dan Pasal 154 RBg yang berisi sebagai berikut:
Pertama, Jika pada hari yang
ditentukan, kedua belah pihak datang, maka Pengadilan Negeri mencoba dengan
perantaraan keduanya akan memperdamaikan mereka;
Kedua, Jika perdamaian yang demikian itu terjadi maka tentang hal-
hal yang diperdamaikan diperkuat sebuah akta, dan kedua belah pihak diwajibkan
untuk mentaati perjanjian yang diperkuat itu, dan surat (akta) itu akan
berkekuatan hukum dan akan diperlakukan sebagai putusan hakim yang biasa;
Ketiga, Tentang keputusan yang demikian
itu tidak diizinkan orang minta apel;
Kempat,
Jika pada waktu dicoba akan memperdamaikan kedua belah pihak itu perlu
memakai seorang juru bahasa, maka dalam hal itu dituntut peraturan pasal yang
berikut. Akta yang dimaksud adalah
acte
van vergelijk atau
acte van dading.
Konsiliasi
juga dihubungkan dengan Pasal 1851 KUH Perdata di dalam melaksanakan perdamaian
yang mempunyai unsur-unsur.
Pertama, Adanya persetujuan antara
para pihak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan menurut
Pasal 1321 KUH Perdata kesepakatan tidak sah kalau dibuat dengan kekhilafan (
dwaling), paksaan (
dwang) atau dengan cara penipuan (
bedrog);
Kedua, Persetujuan
untuk melakukan sesuatu harus sesuai dengan Pasal 1851 KUH Perdata yakni untuk
menyerahkan sesuatu barang;
Ketiga, Persetujuan
atau perdamaian atas sengketa yang ada sebagaimana tersebut dalam pasal 1851
KUH Perdata, yaitu perdamaian atas perkara yang telah ada baik yang sedang
berjalan di pengadilan maupun yang diajukan ke pengadilan sehingga tidak
menjadi perkara di pengadilan;
Keempat, Apabila
terjadi maka perdamaian itu harus diwujudkan dalam sebuah akta tertulis yang
disebut dengan
acte van dading atau
acte vergelijk. Acte vergelijk dibuat
dengan persetujuan hakim, sedangkan
acte
dading dibuat tanpa persetujuan hakim.
Berdasarkan
hal-hal tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa konsiliasi yang tidak
mengikat adalah alat yang digunakan dalam menyelesaikan perselisihan apabila
permasalahannya melibatkan para ahli atau masalah hukum, bukan mempermasalahkannya
melibatkan para ahli atau masalah hukum bukan mempermasalahkan masalah tanggung
jawab, pihak dalam berselisih tersebut adalah badan pemerintah atau pemberi
jaminan (
insure), para pihak
bermaksud tetap menjaga masalahnya tertutup dan rahasia, para pihak memiliki
penilaian berbeda atas masalah tersebut, berdasarkan perbedaan penterjemahan
hukum atau perbedaan kesimpulan atas suatu fakta yang telah disepakati. ADR
konsiliasi ini paling banyak dipergunakan di Amerika Serikat, karena dianggap
paling efektif dan efisien dalam menyelesaikan sengketa.
Perdamaian Menurut Hukum Acara Perdata
Pada setiap
permulaan sidang, sebelum pemeriksaan perkara, hakim diwajibkan mengusahakan
perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara.
Perdamaian yang dimaksud di sini adalah perdamaian yang dikenal dengan istilah
“
dading” dalam praktik hukum acara
perdata, yakni persetujuan/perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak
yang bersengketa untuk mengakhiri perselisihan terhadap suatu perkara yang
sedang diselesaikan oleh pengadilan. Perdamaian yang dilaksanakan itu
didasarkan kepada Pasal 130 HIR/Pasal 154 R.Bg dan Pasal 1851 KUH Perdata.
Dalam pasal-pasal ini hanya memuat kewajiban bagi hakim untuk mengadakan
perdamaian terlebih dahulu sebelum memulai memeriksa pokok perkara.
Untuk jelasnya
di sini akan dituangkan bunyi pasal-pasal tersebut secara lengkap. Pasal 1851
KUH Perdata: “Perdamaian adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak
dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu
perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara.
Perjanjian ini tidaklah sah melainkan jika dibuat secara tertulis”.
Pasal 130
HIR/Pasal 154 R.Bg:
(1)
Apabila pada hari yang telah ditentukan kedua
belah pihak hadir dalam persidangan, maka pengadilan dengan perantara ketua
sidang berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara”.
(2)
Jika perdamaian tercapai pada waktu persidangan
dilaksanakan maka dibuat suatu akta perdamaian yang mana kedua belah pihak
dihukum untuk melaksanakan perjanjian perdamaian itu. Akta perdamaian ini
mengikat para pihak yang membuatnya dan dijalankan sebagai putusan biasa”.
Dalam
peraturan perundang-undangan tersebut di atas, tidak dijelaskan secara rinci
tentang mekanisme perdamaian yang harus dilaksanakan oleh hakim. Hanya
disebutkan bahwa dalam memeriksa suatu perkara perdata, hakim harus berusaha
mendamaikan kedua belah pihak, terlebih dahulu sebelum memeriksa pokok perkara.
Sebenarnya statement ini kurang tepat
sebab pada permulaan sidang umumnya para hakim belum mengetahui secara pasti
bagaimana duduk perkara yang sesungguhnya. Baru diketahuinya apabila pemeriksaan
sudah berjalan, hakim baru mempunyai gambaran yang jelas tentang duduknya
perkara dalam sengketa yang disidangkan. Pada saat itulah, waktu yang tepat
untuk mendamaikan kedua belah pihak, hal ini dapat dilaksanakan terus-menerus
sebelum perkara itu diputus sebagaimana yang dikemukakan dalam Pasal 31 Rv.
540 JURNAL HUKUM
NO.4 VOL.16 OKTOBER
2009: 533-550
|
|
Oleh karena itu mekanisme dan teknik usaha perdamaian
tersebut diserahkan kepada hakim yang bersangkutan, maka berhasil atau tidaknya
usaha perdamaian tersebut dengan sendirinya akan bergantung pada usaha maksimal
dari hakim yang bersangkutan. Hakim yang menyidangkan perkara itu harus
semaksimal mungkin agar para pihak mau berdamai dan mengakhiri sengketa yang
sedang berlangsung. Tidaklah cukup bila hakim yang menyediakan perkara itu
hanya sekedar menanyakan kesediaan berdamai kepada masing-masing pihak yang
berperkara, maka besar kemungkinan usaha perdamaian itu akan berhasil mencapai
kesepakatan. Jika damai berhasil dilaksanakan maka dibuat akta damai yang
selanjutnya bila para pihak memerlukannya dapat ditetapkan sebagai putusan
perdamaian yang mengikat para pihak seperti putusan yang telah inkrah.
Dalam
melaksanakan usaha damai persidangan ada beberapa syarat yang harus
diperhatikan oleh hakim dalam melaksanakannya antara lain:
1. Harus ada persetujuan kedua belah pihak.
Kedua belah pihak yang bersengketa
hendaknya menyetujui secara sukarela untuk mengakhiri sengketa yang sedang
berlangsung di pengadilan. Persetujuan sukarela itu timbul dari kehendak yang
murni kedua belah pihak yang bersengketa bukan kehendak sepihak atau karena
kehendak hakim. Dalam kaitan ini berlaku sepenuhnya Pasal 1320 KUH Perdata,
yaitu adanya kata sepakat secara sukarela antara kedua belah pihak, cara
membuat persetujuan itu objek persetujuan mengenai hal tertentu dan didasarkan
alasan yang diperbolehkan atau causa yang halal.
Sehubungan dengan hal tersebut,
dalam persetujuan damai yang dibuat itu tidak boleh ada cacat pada setiap unsur
esensial persetujuan. Dalam persetujuan itu tidak boleh terkandung unsur-unsur
kekeliruan, paksaan dan penipuan. Apabila suatu persetujuan yang dibuat itu
mengandung cacat formal, maka berdasarkan Pasal 1859 KUH Perdata, persetujuan
damai yang dibuat itu dapat dibatalkan apabila terjadi kekhilafan mengenai
orangnya atau pokok yang diperselisihkan. Demikian juga tentang faktor
kesalahpahaman sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1860 KUH Perdata, yaitu
salah paham mengenai duduknya perkara atau kesalahan dalam menentukan atas hak
yang batal dapat merupakan alasan yang membatalkan putusan perdamaian.
2. Putusan Perdamaian Harus Mengakhiri
Sengketa
Bila perdamaian terjadi, maka
perdamaian yang sudah terjadi itu harus mengakhiri semua sengketa menyeluruh
dan tuntas. Bila tidak tuntas dan tidak menyeluruh semua objek yang
disengketakan maka persetujuan damai itu tidak memenuhi syarat formal sahnya
suatu putusan perdamaian. Apabila pelaksanaan damai tidak dilaksanakan secara
menyeluruh dan tuntas, dikhawatirkan di kemudian hari di antara kedua belah
pihak yang berperkara akan mengalami sengketa yang sama untuk diselesaikan di
pengadilan sehingga tidak ada kepastian hukum.
Putusan perdamaian yang dibuat
dalam persidangan majelis hakim itu harus betul-betul mengakhiri sengketa yang
sedang terjadi antara para pihak yang berperkara secara tuntas dan betul-betul
mengakhiri sengketa secara keseluruhan. Agar putusan perdamaian itu sah dan
mengikat para pihak yang berperkara, maka putusan damai itu dibuat dengan
sukarela dan formulasi perdamaian itu bagi para pihak. Agar hal ini dapat
berjalan dengan baik maka peranan hakim sangatlah menentukan dalam mengajak
para pihak untuk berdamai dan mengakhiri sengketa yang sedang berlangsung di
pengadilan.
3. Perdamaian atas Sengketa yang Telah Ada
Dalam Pasal 1851 KUH Perdata
dikemukakan bahwa syarat untuk dapat dijadikan dasar suatu putusan perdamaian adalah
sengketa para pihak yang sudah terjadi, baik yang sudah terwujud maupun yang
sudah nyata terwujud tetapi baru akan diajukan ke pengadilan, sehingga
perdamaian yang dibuat oleh para pihak dapat mencegah terjadinya perkara yang
masuk ke pengadilan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa isi Pasal 1851 KUH
Perdata, bahwa perdamaian itu dapat lahir dari suatu sengketa perdata yang
sedang diperiksa di pengadilan maupun yang belum diajukan ke pengadilan, atau
perkara yang sedang tergantung di pengadilan sehingga persetujuan perdamaian
yang dibuat oleh para pihak dapat mencegah terjadinya perkara di pengadilan.
542 JURNAL HUKUM
NO.4 VOL.16 OKTOBER
2009: 533-550
|
|
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa putusan
perdamaian itu hanya terjadi dalam sengketa perdata dan persengketaan secara
nyata telah terwujud secara resmi. Format perdamaian yang diajukan kepada
pengadilan dapat dibuat bentuk akta notaris atau juga akta di bawah tangan.
4. Bentuk Perdamaian Harus Tertulis
Dalam Pasal 1851 KUH Perdata juga
dikemukakan bahwa persetujuan perdamaian itu sah jika dibuat secara tertulis.
Syaratnya adalah imperatif tidak ada persetujuan perdamaian apabila
dilaksanakan secara lisan di hadapan pejabat yang berwenang. Akta perdamaian
harus dibuat secara tertulis dengan format yang telah ditetapkan oleh peraturan
yang berlaku. Sesuai tahap dibuatnya persetujuan perdamaian, dikenal 2 (dua)
macam bentuk persetujuan:
a. Bentuk Putusan Perdamaian
Dikatakan
persetujuan perdamaian berbentuk putusan perdamaian apabila terhadap
persetujuan dituangkan dalam putusan pengadilan. Dalam hal ini perselisihan
antara kedua belah pihak sudah diajukan ke pengadilan berupa gugatan perdata. Apabila
para pihak sepakat berdamai, persetujuan perdamaian yang dibuat dimintakan
kepada hakim untuk menjadi acuan putusan pengadilan. Tidak menjadi soal apakah
persetujuan itu tercapai sebelum atau sesudah perkara itu diperiksa pengadilan
di persidangan.
Pada
dasarnya para pihak boleh meminta putusan perdamaian pada saat permulaan
pemeriksaan, pertengahan atau pada akhir pemeriksaan. Hakim yang dimintakan
untuk menjatuhkan putusan perdamaian haruslah terlebih dahulu memperhatikan
adanya persetujuan perdamaian yang dirumuskan dalam suatu akta, dan persetujuan
perdamaian itu tidak boleh bertentangan atau menyimpang dari pokok perkaranya. Meskipun
yang merumuskan materi isi persetujuan perdamaian adalah inisiatif para pihak,
namun tidaklah mengurangi peran hakim untuk memberikan bantuan. Hakim dapat
memberikan petunjuk dan dapat berperan sebagai pendamping ketika isi
persetujuan dirumuskan.
Adalah
penting untuk diperhatikan hakim ada tidaknya tanda tangan kedua belah pihak
dibubuhkan dalam akta persetujuan yang dibuat. Sekiranya didapati salah satu
pihak enggan untuk menandatangani, hakim haruslah menolak permintaan putusan
perdamaian, dan melanjutkan pemeriksaan perkaranya.
Apabila
ternyata para pihak telah bersama-sama menandatangani akta persetujuan dan isi
persetujuan perdamaian itu menyimpang dari pokok perkara yang dipersengketakan,
maka hakim akan menjatuhkan putusan perdamaian dengan mengambil alih sepenuhnya
isi persetujuan dan dictum/amar putusan menghukum kedua belah pihak untuk
mentaati dan melaksanakan isi persetujuan perdamaian.
b. Bentuk Akta Perdamaian
Jika
usaha perdamaian berhasil maka buatlah Akta Perdamaian yang isinya menghukum
kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang telah dibuat antara mereka.
Jika persetujuan terjadi tanpa campur tangan hakim disebut persetujuan dalam
bentuk akta perdamaian. Apabila yang disengketakan para sudah atau belum
diajukan sebagai gugatan ke pengadilan. Misalnya sengketa sudah diajukan
sebagai gugatan ke pengadilan, lalu campur tangan hakim para pihak menghadap
notaris membuat persetujuan damai dalam bentuk akta perdamaian dan dengan
adanya akta perdamaian itu para pihak mencabut perkaranya dari pengadilan dan
tidak meminta persetujuan itu dikukuhkan dengan putusan pengadilan.
Putusan
perdamaian berbeda dengan akta perdamaian, pada putusan perdamaian melekat
kekuatan eksekutorial, dan sewaktu-waktu masih terbuka hak para pihak untuk
mengajukan sebagai gugatan perkara. Seperti telah dikemukakan terdahulu pada
putusan perdamaian melekat kekuatan hukum yang mengikat kedua belah pihak. Dari
bunyi Pasal 1851 KUH Perdata demikian pun dari isi Pasal 130 HIR/Pasal 154 R.Bg
dapat ditarik kesimpulan
.
1)
Putusan perdamaian disamakan dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
2)
Terhadap putusan perdamaian tertutup upaya hukum
baik banding maupun kasasi dan peninjauan kembali (PK), hal ini sejalan dengan
pengertian yang melekat pada suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap. Suatu putusan disebut sebagai putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap ialah putusan yang tidak dapat diajukan banding atau kasasi;
3)
Dalam putusan perdamaian melekat kekuatan hukum
mengikat para pihak atau kepada orang yang memperoleh hak dari mereka. Para
pihak tidak dapat membatalkan putusan perdamaian secara sepihak, dan para pihak
wajib mentaati dan melaksanakan sepenuhnya isi putusan perdamaian.
544 JURNAL HUKUM
NO.4 VOL.16 OKTOBER
2009: 533-550
|
|
Sesuai
dengan putusan Mahkamah Agung RI tanggal 9 Nopember 1976 No. 1245.K/Sip/1974
bahwa “Pelaksanaan suatu perjanjian dan tafsiran suatu perjanjian tidak dapat
didasarkan semata-mata atas kata-kata perjanjian tersebut, tetapi juga
berdasarkan sifat objek persetujuan serta tujuan yang telah ditentukan dalam
perjanjian.
Uraian
tersebut di atas menunjukkan apabila ternyata salah satu pihak mengingkari isi
putusan perdamaian, maka pihak yang lain dapat langsung mengajukan permohonan
eksekusi kepada Pengadilan Negeri, supaya pihak yang ingkar itu dipaksa
memenuhi isi putusan perdamaian, dan jika perlu dapat diminta bantuan alat
negara. Dalam hal ini semua ketentuan eksekusi terhadap putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap berlaku sepenuhnya terhadap eksekusi putusan
perdamaian.
Penerapan Lembaga Damai dalam Proses
Perkara di Pengadilan
Pada persidangan perkara perdata yang
telah ditetapkan kedua belah pihak hadir, maka hakim harus berusaha mendamaikan
mereka (Pasal 130 HIR, 154 R.Bg).
Salah satu hasil Rakernas Mahkamah Agung RI di Yogyakarta pada tanggal 24 s/d
27 September 2001 adalah pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama dalam
menerapkan upaya perdamaian (lembaga
dading)
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 130
HIR/154 R.Bg dan pasal-pasal lainnya dalam hukum acara yang berlaku di
Indonesia, khususnya Pasal 132 HIR/156 R.Bg. Sehubungan dengan hal tersebut di
atas guna mencapai pembatasan kasasi secara substansial dan prosedural.
Mahkamah Agung RI telah memberikan petunjuk kepada semua hakim melalui Surat Edaran
Mahkamah Agung No. 1 tahun 2002 agar melaksanakan hal-hal sebagai berikut:
1.
Agar semua majelis hakim yang menyidangkan
perkara dengan sungguh-sungguh mengusahakan perdamaian dengan menerapkan Pasal
130 HIR/154 R.Bg tidak hanya sekedar formalitas mengajukan perdamaian;
2.
Hakim yang ditunjuk bertindak sebagai
fasilitator yang membantu para pihak
dari segi waktu, tempat dan pengumpulan data-data dan argumentasi para pihak
dalam rangka persiapan ke arah perdamaian;
3.
Pada tahap selanjutnya apabila dikehendaki para
pihak yang berperkara hakim atau pihak lain yang ditunjuk dapat bertindak
sebagai mediator yang akan memperlakukan para pihak yang bersengketa guna
mencari masukan mengenai pokok persoalan yang disengketakan dan berdasarkan
informasi yang diperoleh serta keinginan masing-masing pihak dalam rangka
perdamaian, mencoba menyusun proposal perdamaian yang kemudian dikonsultasikan
dengan para pihak untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan (win-win solution);
4.
Hakim yang ditunjuk sebagai fasilitator oleh
para pihak tidak dapat menjadi hakim majelis pada perkara yang bersangkutan
untuk menjaga objektivitas;
5.
Untuk melaksanakan tugas sebagai fasilitator
maupun mediator kepada hakim yang bersangkutan diberikan paling lama 3 (tiga)
bulan, dan dapat diperpanjang apabila ada alasan untuk itu dengan persetujuan
ketua Pengadilan Negeri, dan waktu tersebut tidak termasuk waktu penyelesaian
perkara sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 6 tahun
1992;
6.
Persetujuan para pihak dituangkan dalam
persetujuan tertulis dan ditandatangani, kemudian dibuat akta perdamaian (dading) agar dengan akta perdamaian
itu para pihak dihukum menempati apa
yang disepakati/disetujui tersebut;
7.
Keberhasilan penyelesaian perkara melalui
perdamaian dapat dijadikan bahan penilaian (reward)
bagi hakim yang menjadi fasilitator dan mediator;
8.
Apabila usaha-usaha yang dilakukan oleh hakim
tersebut tidak berhasil hakim yang bersangkutan melaporkan kepada Ketua
Pengadilan /Ketua Majelis Hakim dan pemeriksaan perkara dapat dilanjutkan oleh
Majelis Hakim dengan tidak menutup peluang bagi para pihak untuk berdamai
selama proses pemeriksaan berlangsung;
9.
Hakim yang menjadi fasilitator/mediator wajib
membuat laporan kepada Ketua Pengadilan secara teratur;
10. Apabila
terjadi proses perdamaian maka proses perdamaian tersebut dapat dijadikan
alasan penyelesaian perkara melebihi dari ketentuan 6 (enam) bulan.
Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan
bahwa suatu sengketa atau beda pendapat dalam sengketa perdata dapat
diselesaikan atas dasar itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara
litigasi di pengadilan, dengan cara mengadakan pertemuan dalam kesepakatan
tertulis. Apabila kesepakatan antara para pihak tidak berhasil, maka atas
kesepakatan tertulis para pihak diselesaikan melalui bantuan penasehat ahli
atau melalui mediator. Apabila penasehat ahli atau mediator yang dituju tidak
dapat mempertemukan kedua belah pihak yang bersengketa, maka penasehat ahli
atau mediator itu dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga ADR
untuk menunjuk seorang mediator, yang dalam waktu 30 hari berusaha untuk
mencapai kesepakatan. Bila kesepakatan dicapai maka dibuat perjanjian tertulis,
bila tidak terdapat kesepakatan maka perkara diajukan kepada lembaga arbitrase
resmi atau adhoc.
Jika dilihat ketentuan sebagaimana
tersebut di atas, maka timbul pertanyaan apakah mekanisme tersebut dapat
diterapkan sebagaimana yang tersebut dalam SEMA Nomor 1 Tahun 2002 di atas? Hal
ini didasarkan kepada beberapa perbedaan antara lain:
1.
546 JURNAL HUKUM
NO.4 VOL.16 OKTOBER
2009: 533-550
|
|
Kewenangan pengadilan terhadap suatu perkara yang telah
didaftarkan di kepaniteraan adalah menindaklanjuti perkara untuk diselesaikan,
dengan demikian perkara itu sudah berada pada tahap litigasi, sehingga
pertemuan secara langsung dari pihak-pihak yang berperkara merupakan suatu hal
yang sulit. Padahal SEMA Nomor 1 Tahun 2002 dalam mengatasi hal ini langsung
menunjuk fasilitator yang dapat bertindak sebagai penasehat ahli yang akan
mempertemukan para pihak yang bersengketa dengan mengambil langkah-langkah yang
diperlukan. Hal ini tentu akan menimbulkan kesulitan di lapangan;
2.
Dalam SEMA Nomor 1 Tahun 2002 ditetapkan bahwa
fasilitator dan mediator yang menangani perkara tersebut adalah bukan anggota
majelis. Bagaimana kalau pengadilan yang bersangkutan memiliki hanya tiga orang
hakim, apakah mediasi dapat dilaksanakan?
3.
Dalam SEMA Nomor 1 Tahun 2002 ditetapkan langkah-langkah
yang harus diambil oleh mediator atau fasilitator. Dalam pelaksanaan langkah-langkah
tersebut tentu memerlukan biaya tidak sedikit. Biaya untuk keperluan tersebut
diambil dari mana dan bagaimana perhitungannya di dalam biaya perkara;
4.
Apabila hakim bertindak sebagai mediator atau
fasilitator itu bukan dari anggota majelis, maka siapakah yang akan menuangkan
perjanjian itu dalam akta perdamaian? Hal ini didasarkan karena dalam SEMA itu
belum terlihat bahwa perkara yang bersangkutan telah ditetapkan oleh majelisnya
selama berlangsung proses mediasi yang dilaksanakan oleh mediator atau
fasilitator yang ditunjuk;
5.
Hasil kerja penasehat ahli dan mediator dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dituangkan di dalam perjanjian yang
disepakati bersama dan apabila tidak berhasil kesepakatan maka dianjurkan untuk
dibawa kepada lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc. Sedangkan hasil kerja mediator atau fasilitator dalam SEMA
Nomor 1 Tahun 2002 diserahkan kepada Majelis Hakim. Tetapi timbul masalah
kepada Majelis Hakim yang mana sebab sejak penunjukan hakim sebagai mediator
atau fasilitator, Majelis Hakim untuk memeriksa perkara itu belum terbentuk.
Melihat kepada masalah-masalah
sebagaimana tersebut di atas, maka di bawah ini akan dicoba membuat beberapa
rumusan tentang mekanisme penanganan upaya perdamaian lebih jauh sebagaimana
yang telah diatur oleh SEMA Nomor 1 Tahun 2002 sebagai berikut:
1.
Setelah perkara gugatan didaftarkan di kepaniteraan pengadilan maka ketua pengadilan
mengambil langkah dengan menetapkan majelis hakim, kemudian menetapkan seorang
hakim untuk bertindak sebagai fasilitator dengan catatan hakim tersebut bukan
anggota majelis yang akan menangani perkara tersebut, kecuali bila hakim di
pengadilan tersebut tidak mencukupi;
2.
Setelah penetapan majelis hakim dilaksanakan,
berkas perkara yang bersangkutan diserahkan kepada Ketua Majelis Hakim.
Selanjutnya ketua majelis yang bersangkutan menyerahkan berkas perkara hakim kepada
mediator atau fasilitator.
3.
Hakim mediator atau fasilitator membantu para
pihak baik dari segi waktu, tempat dan pengumpulan data dan argumentasi para
pihak dalam rangka persiapan ke arah perdamaian. Dalam hal ini mediator dan
fasilitator dapat mempertemukan para pihak;
4.
Setelah data-data telah diperoleh secara
lengkap, hakim mediator atau fasilitator menyusun proposal perdamaian. Proposal
yang disusun itu, dikonsultasikan dengan para pihak berperkara agar dapat
persetujuan. Apabila proposal itu disetujui oleh para pihak maka disusunlah
suatu perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak;
5.
Perjanjian yang telah ditandatangani oleh para
pihak yang berperkara maka diserahkan kepada ketua bersama berkas perkaranya
yang selanjutnya dituangkan dalam akta perdamaian dan putusan perdamaian;
6.
Apabila proposal yang disusun oleh mediator atau
fasilitator tidak disetujui oleh para pihak yang berperkara, maka berkas
diserahkan kepada ketua majelis hakim. Selanjutnya ketua majelis hakim
memeriksa perkara tersebut sesuai dengan hukum acara yang berlaku, dengan tidak
menutup kemungkinan usaha perdamaian tetap dilanjutkan sampai perkara yang
bersangkutan diputuskan;
7.
Proses upaya perdamaian sebagaimana tersebut di
atas maksimum 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang apabila dianggap perlu
dengan persetujuan ketua pengadilan. Proses pemeriksaan perkara sampai putusan
maksimum 6 (enam) bulan sesuai dengan SEMA Nomor 6 Tahun 1992;
8.
Berhasil atau tidaknya usaha perdamaian
dilaksanakan, hendaklah dilaporkan kepada ketua pengadilan dan perjalanan
berkas perkara sebagaimana tersebut dalam lampiran.
Bertindak sebagai mediator atau
fasilitator bagi seorang hakim bukanlah pekerjaan mudah, karena biasanya hakim
bertindak selalu formal bahkan terkesan baku. Hal ini dapat dimengerti karena
hakim cenderung menggunakan otoritas yang melekat pada jabatannya. Sangat
jarang hakim menguasai sepenuhnya ilmu komunikasi, psychology secara aplikatif, mereka kebanyakan hanya menguasai dari
segi formalnya saja. Oleh karena itu para hakim hendaknya mempelajari teknik
penerapan ilmu-ilmu tersebut dalam melaksanakan tugasnya.
Kiat-kiat yang harus dilaksanakan oleh
seorang hakim yang bertindak sebagai mediator atau fasilitator sebagai berikut:
Pertama, mediator harus netral, hakim
harus berada di tengah-tengah para pihak yang bersengketa ataupun di dalamnya;
Kedua, mengisolasi proses mediasi, tidak
boleh terpengaruh dari kondisi internal maupun eksternal;
Ketiga, mediator atau fasilitator tidak berperan sebagai hakim, ia
bukan hakim yang menentukan siapa yang salah dan benar, juga bukan bertindak
dan berperan sebagai penasehat hukum, tidak pula berperan sebagai penasehat
atau pengobat, mediator hanya berperan sebagai penolong.
Penutup
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, peran lembaga damai dalam proses
perkara di pengadilan dapat dilaksanakan melalui Surat Edaran Mahkamah Agung
No. 1 Tahun 2002 sebagai berikut: agar semua majelis hakim yang menyidangkan
perkara dengan sungguh-sungguh mengusahakan perdamaian dengan menerapkan
ketentuan Pasal 130 HIR/154 R.Bg tidak hanya sekedar formalitas mengajukan
perdamaian, hakim yang ditunjuk bertindak sebagai fasilitator yang membantu
para pihak dari segi waktu, tempat dan pengumpulan data-data dan argumentasi
para pihak dalam rangka persiapan ke arah perdamaian. Pada tahap selanjutnya
apabila dikehendaki para pihak yang berperkara hakim atau pihak lain yang
ditunjuk dapat bertindak sebagai mediator yang akan mempertemukan para pihak
yang bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok persoalan yang
disengketakan dan berdasarkan informasi yang diperoleh serta keinginan
masing-masing pihak dalam rangka perdamaian, mencoba menyusun proposal
perdamaian yang kemudian dikonsultasikan dengan para pihak untuk memperoleh
hasil yang saling menguntungkan (win-win
solution), hakim yang ditunjuk sebagai fasilitator oleh para pihak tidak
dapat menjadi hakim majelis pada perkara yang bersangkutan untuk menjaga
objektivitas. Untuk pelaksanaan tugas sebagai fasilitator maupun mediator
kepada para hakim yang bersangkutan diberikan paling lama 3 (tiga) bulan, dan
dapat diperpanjang apabila ada alasan untuk itu dengan persetujuan Pengadilan
Negeri, dan waktu tersebut tidak termasuk waktu penyelesaian perkara
sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1992.
Persetujuan para pihak dituangkan dalam persetujuan tertulis dan
ditandatangani, kemudian dibuat akta perdamaian (dading) agar dengan akta perdamaian itu para pihak dihukum
menempati apa yang disepakati/disetujui tersebut. Keberhasilan penyelesaian
perkara melalui perdamaian dapat dijadikan bahan penilaian (reward) bagi hakim yang menjadi
fasilitator atau mediator. Apabila usaha-usaha yang dilakukan oleh hakim
tersebut tidak berhasil hakim yang bersangkutan melaporkan kepada ketua
pengadilan/ketua majelis hakim dan pemeriksaan perkara dapat dilanjutkan oleh
majelis hakim dengan tidak menutup peluang bagi para pihak untuk berdamai
selama proses pemeriksaan berlangsung. Hakim yang menjadi fasilitator/mediator
wajib membuat laporan kepada ketua pengadilan secara teratur; Apabila terjadi
proses perdamaian maka proses perdamaian tersebut dapat dijadikan alasan
penyelesaian perkara melebihi dari ketentuan 6 (enam) bulan.
548 JURNAL HUKUM
NO.4 VOL.16 OKTOBER
2009: 533-550
|
|
Penetapan Lembaga Damai dalam proses perkara perdata di
pengadilan haruslah lebih dikembangkan, untuk memberikan kepuasan bagi
masyarakat pencari keadilan dan dalam rangka pembatasan perkara kasasi. Hakim
pengadilan tingkat pertama dalam perannya sebagai mediator dalam lembaga damai,
haruslah berusaha membawa dan mengajak para pihak yang bersengketa membicarakan
bersama penyelesaian sengketa dan mempersilahkan mereka bermusyawarah, mencari
dan menemukan pemecahan solusi yang baik dan dapat diterima secara mufakat bagi
para pihak.
Daftar Pustaka
A. Parta
M. Zen, dan Maria Louisa, Panduan Bantuan
Hukum di Indonesia. Jakarta: AusAid, YLBHI, PSHK dan IALDF, 2006.
Achmad
Fedyani Saifuddin, Konflik dan Integrasi Perbedaan Paham dalam Agama Islam. Jakarta:
CV. Rajawali, 1986.
Arifin A.
Tumpa, Arbitrase dan Mediasi. Jakarta: Kerjasama MARI dengan Pusat Pengkajian
Hukum, 2003.
Gunawan
Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Joni
Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utana, 2001.
Kriekhoff,
Valerine J.L, Penyelesaian Sengketa
Alternatif. Jakarta: Gramedia Pustaka, 1999.
Maria S.W.
Sumardjono, et.all., Mediasi Sengketa Tanah. Jakarta: Kompas, 2008.
Mahkamah Agung RI, Bunga Rampai Hukum Acara Perdata. Jakarta: Pusdiklat MARI, 2000.
Mukti
Arto, Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1999.
Riduan
Syahrani, Buku Materi Hukum Acara Perdata, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.
Sudikno
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata
Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1988.