Selasa, 24 September 2013

MAKALAH OPTIMALISASI PENGEMBALIAN ASET NEGARA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN PERDATA





OPTIMALISASI PENGEMBALIAN ASET NEGARA
DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN PERDATA




Oleh :
Mahyuni, S.H. M.Hum
(Program Magister Ilmu Hukum Unlam Banjarmasin)





KOMISI HUKUM NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
2007





__________________________________________________________________
Makalah Disampaikan Pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional 2007
Yang Diselenggarakan Oleh KHN
Jakarta, 28 – 29 Nopember 2007
OPTIMALISASI PENGEMBALIAN ASET NEGARA
DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN PERDATA[1]
Oleh : Mahyuni, S.H. M.Hum[2]

I.         Pendahuluan
Pengembalian aset negara (asset recovery), bagi bangsa Indonesia sangatlah ugent, diakui bahwa adanya aset yang memadai tentunya dapat mempercepat pencapaian sasaran pembangunan di segala bidang yang tengah kita jalankan sejak berdirinya republik ini. Sebaliknya dengan aset (modal, dana) yang sangat minim ini sangat berakibat sekali kepada kehidupan bangsa itu sendiri (pendidikannya, kesehatannya, kesejahteraannya, bahkan kemajuannya), dan yang lebih fatal lagi mutu, harga diri, martabat bangsa itu sendiri dapat lebih terpuruk ke jurang kesengsaraan, rendah di mata dunia, bahkan dilecehkan.
Apalagi keadaan ini masih belum dapat dipastikan kapan saatnya akan berlalu. Sebaliknya pula, dengan aset yang cukup memadai, kita dapat mudah melakukan segala sesuatu untuk kesejahteraan, keadilan, kemakmuran, kemajuan dan kejayaan bangsa kita.
StAR Initiative yang dirancang PBB untuk membantu mempercepat upaya pengembalian aset negara (Indonesia) adalah salah satu sarana yang harus dapat dimanfaatkan oleh bangsa kita dengan semaksimal mungkin. Bila cara lain yang ditempuh belum menunjukkan hasil, atau hasilnya masih belum begitu berarti, maka instrumen yang satu ini (StAR Initiative), perlu dikaji dengan seksama untuk selanjutnya dapat diimplementasikan guna memulangkan aset bangsa yang berada di luar negeri.
Adanya StAR Initiative dapat dipandang sebagai  kepedulian dunia terhadap negara-negara yang menjadi korban para koruptor yang selama ini dipandang menghadapi kendala di dalam memperjuangkan pengembalian asetnya yang diparkir di negara-negara maju, yang hingga saat ini sama sekali belum menunjukkan hasil yang signifikan, atau bahkan masih dapat dikatakan gagal karena berbagai kendala.
Dari apa yang dilakukan selama ini, dengan cara yang dilakukan oleh negara korban korupsi, maka PBB dan StAR Initiative telah memberi jalan baru bagi pemerintah dan bangsa Indonesia untuk meneruskan upaya pengembalian aset negaranya dengan instrumen StAR Initiative.
Dalam usaha pengembalian aset bagi negara, bagi negara korban koruptor selama ini banyak ditemukan kendala yang cukup sulit untuk diatasi,  kendala tersebut antara lain adalah sistem hukum (common law dan civil law, sistem politik, keengganan negara maju untuk membantu, perangkat hukum, tidak adanya perjanjian ekstradisi), disamping adanya jasa lawyer, akuntan, jasa banker dan organisasi profesi kepada para penjarah harta negara.
StAR Initiative telah menjadi wacana internasional setelah PBB “mencanangkan” dukungan serta anjuran (support and advice) agar negara-negara maju yang kemungkinan besar sistem perbankan dan sistem “real estate” dipergunakan untuk “menyimpan” uang dari hasil korupsi jabatan-jabatan tinggi negara tetangga (negara berkembang) membantu melakukan “tracing”, “identification” dan “transferring” aset-aset negara (Term of reference SPHN 2007).
Nampaknya tidaklah mudah untuk mengupayakan pengembalian kekayaan dari negara berkembang yang disimpan, “diparkir” oleh koruptor di bank-bank luar negeri (negara-negara maju), untuk itulah maka perlu dukungan negara-negara maju tempat disimpannya aset itu memberikan akses guna melacak aset-aset negara mutlak diperlukan. Selanjutnya melalui StAR Initiative harta koruptor dapat digali, diidentifikasi, disita, diambil, dan untuk selanjutnya akan dikembalikan kepada negara/bangsa pemilik aset itu.
Bagi Indonesia StAR Initiative adalah suatu metode baru dalam rangka pengembalian kekayaan negara yang telah dilarikan oleh para pencari berdasi ke negara “penyimpan” yang selama ini dianggap turut melindungi para koruptor.
Kiranya meskipun pengembalian aset negara dilakukan dengan instrumen StAR Initiative, akan tetapi pada sisi lain, Indonesia masih perlu untuk meneruskan upaya hukum di dalam negeri baik secara pidana maupun secara perdata, bahkan cara ini harus lebih digalakkan lagi, karena apa yang dilakukan Indonesia di dalam negeri akan selalu dipantau oleh pihak luar.
Alasan lain perlu diteruskannya cara ini adalah disamping ini adalah tuntutan reformasi, juga karena kita negara hukum, jadi instrumen hukumlah harus diutamakan dan ditonjolkan, mengingat parameternya jelas.
Langkah selanjutnya dalam mempergunakan instrumen hukum melalui jalur hukum pidana adalah memproses/menyelesaikan kasus-kasus bagi pelaku korupsi yang diindikasikan melarikan harta jarahannya ke luar negeri adalah untuk segera melimpahkan ke pengadilan, bagi para pelaku yang lari ke luar negeri pengadilannya dapat dilakukan secara in absentia. Putusan atas terdakwa dapat dijadikan bukti bagi negara maju untuk membekukan aset yang disimpan di bank-bank luar negeri.
Disamping upaya hukum secara pidana, gugatan perdata pun sangat perlu dilakukan. Jaksa sebagai pengacara negara perlu memperbanyak gugatan secara perdata kalau syarat-syarat untuk melakukan gugatan perdata memang sudah cukup terpenuhi. Gugatan yang dilakukan jaksa sebagai pengacara negara tentunya tidak sekedar hanya untuk memenuhi unsur menggugat, akan tetapi juga harus memenuhi syarat formiil dan materiil.
Baik upaya hukum secara pidana maupun perdata yang kuantitas dan kualitas penanganannya selalu ditingkatkan, ini berarti kita bangsa Indonesia dapat menunjukkan kepada dunia, bahwa Indonesia benar-benar serius untuk mengupayakan pengembalian aset negara secara terbuka, objektif, transparan dan akuntabel.

II.     Pembahasan
Tidak dapat dibantah lagi bahwa korupsi di negara-negara berkembang dan di Indonesia merupakan suatu penyakit akut dan merupakan penghambat kemajuan dan pembangunan suatu bangsa, karena harus diperangi dengan cara apapun sesuai dengan cara yang dapat dilakukan oleh bangsa yang bersangkutan bila kemajuan bangsa tidak ingin terhambat.
Pengamatan StAR Initiative, aset curian disinyalir disembunyikan di:
1.      Centra-centra financial negara maju;
2.      Suap kepada pejabat publik sering pula berasal dari korporasi multinasional.

Keadaan ini sangat mungkin karena tersedianya jasa dari:
1.      Lawyers
2.      Akuntan, dan
3.      Agen-agen professional tertentu (Term of Reference SPHN 2007).

Akan tetapi hambatan-hambatan yang sering dihadapi negara korban korupsi adalah antara lain:
1.      Tidak jelas political will pemerintahannya;
2.      Terbatasnya upaya hukum, kemampuan dan investigasi dan peradilan;
3.      Terbatasnya dana;
4.      Lemahnya transparansi dan akuntabilitas publik;
5.      Perbedaan sistem hukum dengan negara dimana aset curian disimpan;
6.      Ketidaksediaan negara maju untuk membantu upaya pengembalian aset curian (Term of Reference SPHN 2007).

Disamping kendala-kendala seperti dikemukakan di atas, di dalam negeri pun (Indonesia khususnya) yaitu kurang dukungan politik di kalangan legislative (betapa tidak: Perjanjian Republik Indonesia dengan Pemerintah Singapura di bidang hukum, Perjanjian ekstradisi tidak disetujui di kalangan legislative, padahal pihak eksekutif sudah cukup gigih dan maksimal serta dengan susah payah untuk bisa menghadirkan adanya perjanjian ekstradisi itu dalam rangka menempuh upaya pengembalian aset bangsa Indonesia yang diduga kuat parkir di bank-bank Singapura, serta tempat bersembunyinya pelaku korupsi).
Suatu hal yang sangat mengecewakan dan sangat menggelitik sekali di dalam upaya pengembalian aset negara dari para koruptor, baik aset itu disembunyikan di dalam negeri (berupa aset mentah atau sudah dalam bentuk perusahaan; dengan pencucian uang) maupun yang sudah dilarikan ke luar negeri  adalah terlalu prematurnya pemerintahan yang sekarang untuk menghentikan Tim Tas Tipikor yang ditangani Kejaksaan Agung, padahal hasil kerjanya sudah dapat dirasakan manfaatnya, namun saying Tim ini tidak diperpanjang lagi dengan alasan terbatasnya dana.  Menurut penulis bila ingin menuntaskan, atau ingin melahirkan terapi sosial dan untuk maksud-maksud pendidikan bangsa kerja Tim Tas Tipikor masih perlu diperpanjang lagi.
Hal lain yang perlu penulis kemukakan disini adalah terlalu formalnya sikap Mahkamah Agung Konstitusi yang memandang KPK inkonstitusional sehingga harus memberi waktu untuk ditiadakannya lembaga tersebut. Menurut penulis pendapat MK tersebut tidak dipertimbangkan unsur materiil dan dari sisi utilities.
Dapat dibuktikan disaat bangsa ini sedang gegap gempitanya kehidupan, ternyata badan-badan peradilan “konvensional” memutus koruptor dengan hukuman pidana minimal, dan bahkan tidak sedikit koruptor yang divonis bebas dengan vonis bebas yang “kontroversial”.  Akan tetapi di sisi lain pengadilan Tipikor untuk perkara korupsi yang sama dengan hukuman pidana yang lebih berat, sebenarnya hukuman yang demikianlah yang dikehendaki publik.
Menurut hemat penulis kalau korupsi di Indonesia sudah dipandang sebagai penyakit yang sangat akut, maka dalam hal-hal tertentu bangsa Indonesia patut mencontoh bangsa Romania, dimana Nicolai Causesco mantan Presiden Romania, sang koruptor bagi bangsanya harus berhadapan dengan pengadilan revolusioner rakyat dan di eksikusi, ternyata revolusi di Romania tidak memakan banyak korban. Itu salah satu contoh berharga bagi Indonesia yang patut untuk dipertimbangkan untuk dijadikan rujukan bila ingin menuntaskan korupsi di negeri ini.
Upaya-upaya ke depan, StAR Initiative nampaknya tidak hanya bermaksud untuk mengembalikan aset sehingga dapat digunakan untuk mendanai program-program sosial dan infrastruktur, tetapi juga diharapkan mampu memancarkan signal bahwa tidak ada lagi surge yang aman bagi aset curian, dan dalam j angka panjang upaya pengembalian aset diikuti dengan reformasi lembaga pemerintahan yang baik, karena tanpa ini StAR Initiative tidak akan memberikan arti (Term of Reference SPHN 2007).
Bila kita perhatikan banyaknya kendala-kendala seperti dikemukakan di atas maka bangsa Indonesia tidak boleh surut untuk terus mengupayakan beberapa terobosan sehingga jangankan seperti kendala-kendala yang ada itu, lebih banyak dari itu pun akan selalu diterobos, yang pada akhirnya semua penghalang dapat dilewati, dan tujuan utama yaitu kembalinya aset bangsa berhasil dipulangkan, meskipun harus dengan pengorbanan yang cukup besar baik waktu, tenaga dan biaya, yang penting adanya komitmen dari pemerintah yang sekarang, kalau saja tidak tuntas dalam satu generasi, “proyek” ini dapat diwariskan pada generasi selanjutnya. Bukanlah jumlah aset yang diperjuangkan nilainya teramat bear, dan bisa untuk hidup anak cucu bangsa Indonesia pada generasi selanjutnya.
StAR Initiative merupakan bagian internal dari Governance and Corruption Strategy Word Bank Group yang mengharapkan perlunya bantuan dari negara berkembang dalam pengembalian aset curian. Kerjasama legal internasional dari StAR Initiative disediakan oleh UNCAC.
Bersamaan dengan itu upaya pengembalian aset negara melalui jalur gugatan perdata juga harus terus diupayakan, hal ini dimaksudkan agar koruptor mengetahui bahwa segala upaya hukum selalu terus dijalankan dan kepada koruptor akan dimintai pertanggungjawabkan sampai kapanpun. Cara ini merupakan cara pendidikan kepada bangsa, dan rakyat mengetahui pengambilan aset publik secara melawan hukum dan tidak pernah dibiarkan. Konsep bahwa ada unsur perbuatan melawan hukum (oleh seorang penguasa karena jabatan), dan mengakibatkan kerugian perdata bagi masyarakat banyak adalah dasar yang kuat untuk menggugat koruptor secara perdata.
Upaya yang dilakukan oleh negara adalah berarti juga kepedulian segera di dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat luas yang dengan jerih payahnya harus memikul beban pajak dan beban utang yang tidak pernah kunjung lunas dalam pembangunan bangsa ini. Pendek kata cara-cara apapun yang dapat dibenarkan (utamanya solusi hukum) harus diupayakan seoptimal mungkin tidak peduli pihak manapun yang memegang kendali pemerintahan dimasa yang akan datang.
Seyogyanya upaya pengembalian aset negara berakhir saat mana aset bangsa yang dicuri dengan tidak wajar oleh para koruptor, dapat dikembalikan kepada negara/masyarakat yang berhak, sampai kapanpun, dimanapun, dan oleh pemerintah manapun.
Untuk merealisasikan tujuan tersebut kiranya haruslah pula didukung oleh dana yang memadai, tenaga yang professional dan handal dibidangnya. Untuk itu pendidikan dan pelatihan perlu terus diberikan kepada pihak-pihak yang bertugas menjalankan tugas tersebut.hal yang tidak kalah pentingnya juga adalah kiranya perlu dibentuk komisi khusus yang bertugas mengurus pengembalian aset ini, yang nantinya dibentuk presiden. Pengalaman membuktikan ternyata KPK telah dapat dikatakan cukup berhasil dan banyak mendapat simpati masyarakat karena komitmennya memberantas korupsi sudah dirasakan semakin baik.
Usaha jatuh bangun dalam upaya pengembalian aset, itu hal biasa, negara lain (Nigeria, Peru, Philipina) telah membuktikan dan hal yang tidak kalah penting juga adalah pembenahan dan pembaharuan perangkat peraturan hukum harus segera dimulai.

III.  Penutup
Dari uraian di atas, kiranya perlu untuk digarisbawahi bahwa:
1.      Ternyata StAR Initiative bukanlah sarana yang mudah untuk digunakan oleh negara-negara berkembang guna memperoleh kembali aset-asetnya karena pusat-pusat penyimpanan finansial negara maju dibentengi oleh hukum, profesionalisme, teknologi dan politik, akan tetapi negara korban korupsi tidak boleh pesimis, uluran bantuan dari pihak luar negeri sangat terbuka lebar, asal saja pemerintah (Indonesia) bersungguh-sungguh untuk mengupayakan pengembaliannya dengan berbagai cara yang dapat dimengerti oleh negara maju.
2.      Demikian pula perbedaan sistem hukum bukanlah menjadi penghalang yang membuat berat, untuk itu Indonesia harus dapat menyesuaikan dan memposisikan dirinya, dan dapat menyakinkan negara maju bahwa harta yang disimpan pada negara maju tersebut adalah aset negara yang diperoleh para koruptor dengan cara ilegal.
3.      Adapun mengenai belum terbentuknya prosedur dan mekanisme StAR Initiative, Indonesia tidak perlu risau, apa yang bisa dilakukan saat ini lakukanlah, berbuat sebanyak mungkin ke arah itu, itu tentu lebih baik, tunjukkanlah kepada pihak asing bahwa Indonesia telah memiliki komitmen yang kuat untuk mendapatkan asetnya yang sah, dunia harus tahu itu. Banyak kreasi dan inovasi yang dapat dilakukan, dan negara lain sebagai korban korupsi telah dapat menunjukkan kepada dunia bahwa negara itu berhasil, sebagaimana telah diketahui keberhasilan Nigeria, Peru, Philipina mengembalikan asetnya toh juga tanpa adanya prosedur dan mekanisme dari StAR Initiative itu sendiri. Diakui memang bagus bila StAR Initiative sudah membentuk prosedur dan mekanismenya, tapi Indonesia dalam memperjuangkan aset bangsa tidak boleh berpangku tangan hingga terbentuknya acuan tersebut.

Disamping itu untuk selanjutnya marilah kita renungkan bersama untuk selanjutnya dapat dirumuskan/dijawab bersama-sama pokok-pokok pertanyaan dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN 2007) ini, sebagaimana dikemukakan oleh KHN, yaitu:
1.      Bagaimana seharusnya pemerintah Indonesia menyikapi adanya prakarsa StAR Initiative yang dilakukan oleh PBB?
2.      Apakah Indonesia sudah mempunyai legal standards yang diakui dan diterima secara internasional? Disamping hukum juga masih diperlukan standards lain di bidang kelembagaan publik, pengelolaan finansial, dan lain-lain, apakah sudah dipunyai?
3.      Apa saja kebijakan (policy) dan peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan untuk melaksanakan prakarsa PBB tersebut?
4.      Apakah data prakarsa StAR Initiative yang hanya diperoleh dari pemberitaan media masa bisa dijadikan dasar bagi penegak hukum untuk menindaklanjuti dan bagaimana mekanismenya.

IV.   Rekomendasi
Guna keberhasilan dalam upaya pengembalian aset negara yang dilarikan oleh para koruptor ke luar negeri, khusus negara-negara maju, maka penulis merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:
1.      Diperlukan tersedianya dana khusus yang dianggarkan melalui APBN guna menunjang pengembalian aset.
2.      Perlu adanya komisi khusus (Indonesia) yang dibentuk presiden dengan tugas/misi khusus untuk mengurus pengembalian aset.
3.      Indonesia perlu belajar dan mencontoh Nigeria, Peru, dan Philipina yang telah berhasil menarik asetnya di luar negeri, meskipun perlu waktu dan biaya.
4.      Perlunya pembentukan perangkat peraturan perundang-undangan guna melengkapi UU No. 7 Tahun 2006.
5.      Persiapan untuk melakukan langkah-langkah konkrit oleh pihak eksekutif sebagaimana halnya dikemukakan dalam Term of SPHN 2007 sudah harus dimulai sekarang, kegiatan itu antara lain:
a.      Pelatihan dan peningkatan SDM penegak hukum;
b.      Kerjasama antar negara dalam mengumpulkan kembali kekayaan yang disimpan di negara tertentu, untuk itu maka perjanjian ekstradisi harus dapat diwujudkan dengan negara yang bersangkutan.
c.      Pemerintah Indonesia harus melakukan tindakan-tindakan nyata apabila PBB dan negara-negara maju memberikan dukungannya.
6.      Perlu adanya political will dari semua komponen bangsa, utamanya pihak eksekutif, legislatif dan yudikatif.
7.      Perlunya dijalin hubungan kerjasama antara pemerintah (Indonesia) dengan Organisasi Internasional Word Bank Group.
8.      Hal apapun atau langkah apapun yang akan ditempuh oleh negara korban koruptor, kiranya pemerintah (Indonesia) perlu memperhatikan hasil identifikasi dari UNODC-WBG yang akan merekomendasikan beberapa negara maju yang akan memberi bantuan teknis untuk selanjutnya negara korban koruptor dapat memberitahukan kepada UNCAC untuk dapat diimplementasikan, dengan tujuan dapat meningkatkan sistem peradilan pidana yang efektif.


Rujukan

Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Term of Reference Seminar Kajian Hukum Nasional (SPHN 2007), Jakarta, 2007.




[1] Disampaikan pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional 2007 yang Diselenggarakan oleh KHN, Jakarta, 28 – 29 Nopember 2007.
[2] Program Magister Ilmu Hukum Unlam Banjarmasin

Senin, 09 September 2013

ARTIKEL JURNAL Lembaga Damai dalam Proses Penyelesaian Perkara Perdata di Pengadilan

ARTIKEL JURNAL

Lembaga Damai dalam Proses Penyelesaian
Perkara Perdata di Pengadilan



Mahyuni
Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
Jl. Brigjend H. Hasan Basry Banjarmasin
mahyuni _pasca@yahoo.co.id



Abstract
The implementation of conciliation council in civil cases is urgently needed to give sense of justice among parties and to give limitation of cassation process. The limitation of cassation process is either substantively or procedurally. It is executed in order to reach reconciliation among parties which is stated on article 130 HIR/154 R.Bg. supreme Court had noticed to all judged by The Supreme Court Instruction No. 1/2002, that judged should act as a mediator in conciliation council and they gives a beneficial proposition for parties to entered negotiation in order to settle the dispute.

Key Word: civil case, conciliation council, and mediation


Penerapan dewan konsiliasi dalam kasus sipil sangat diperlukan untuk memberikan rasa keadilan bagi semua pihak dan juga membatasi proses kasasi, baik proses kasasi secara substansial maupun prosedural. Hal ini dilakukan untuk mendamaikan pihak yang berperkara seperti halnya yang tertuang dalam Pasal 130 HIR/154 R.Bg. Mahkamah Agung melalui instruksi Mahkamah Agung No.I/2002 telah memerintahkan para hakim agar menjadi penengah dalam dewan konsiliasi dan memberikan saran yang menguntungkan bagi semua pihak untuk penyelesaian perselisihan.

Kata Kunci: kasus sipil, dewan konsiliasi, dan mediasi









534  JURNAL  HUKUM  NO.4  VOL.16  OKTOBER  2009: 533-550
 
Pendahuluan
Sengketa adalah hal yang terjadi antara dua pihak atau lebih, karena adanya salah satu pihak yang merasa tidak puas atau merasa dirugikan. Pada prinsipnya pihak-pihak yang bersengketa diberikan kebebasan untuk menentukan pilihan penyelesaian sengketa yang dikehendaki. Menurut Laura Nader dan Harry F. Todd, menentukan tahapan suatu sengketa, yaitu: Pertama, pra konflik, yang mendasari rasa tidak puas seseorang; Kedua, Konflik keadaan dimana para pihak menyadari atau mengetahui tentang adanya perasaan tidak puas tersebut; Ketiga, sengketa dimana konflik tersebut dinyatakan di muka umum atau dengan melibatkan pihak ketiga.[1] Menurut Coser, pertentangan dan perjuangan yang bersifat langsung dan disadari antara individu atau kelompok untuk memperoleh pengakuan status, kekuasaan, pengaruh dan sumber daya.[2] Selanjutnya Achmad Febyani Saifuddin menjelaskan:
Konflik adalah pertentangan yang bersifat langsung dan disadari antara individu-individu atau kelompok untuk mencapai tujuan yang sama. Kekalahan pihak lawan dianggap sangat penting dalam mencapai tujuan. Dalam konflik, orientasi ke arah pihak lawan lebih penting dari pada objek yang hendak dicapai. Dalam kenyataan, karena berkembangnya rasa kebencian yang makin mendalam, pencapaian tujuan seringkali menjadi sekunder sedangkan pihak lawan yang dihadapi jauh lebih penting”.[3]

Pihak-pihak yang bersengketa diberi kebebasan untuk menentukan mekanisme pilihan penyelesaian sengketa yang dikehendaki, apakah akan diselesaikan melalui jalur litigasi (pengadilan) ataupun melalui jalur non-litigasi (di luar pengadilan) dengan menggunakan ADR (Alternative Dispute Resolution), sepanjang tidak ditentukan sebaliknya dalam peraturan perundang-undangan.
Penyelesaian perkara dengan menggunakan ADR mulai tampak dan dikembangkan di Indonesia. Hal ini sejalan dengan maraknya kegiatan perdagangan dunia yang tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa antar pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan perdagangan tersebut. Penyelesaian sengketa secara litigasi (melalui pengadilan) dianggap terlalu lama dalam proses penyelesaian perkara yang dalam dunia bisnis dianggap tidak menguntungkan dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Salah satu metode untuk penyelesaian sengketa efektif dan efisien adalah dengan ADR karena memiliki sistem penyelesaian sengketa dengan cepat dan biaya murah (quick and lower in time and money to the parties). Oleh karena sistem penyelesaian sengketa melalui ADR yang diatur dalam regleman on de rechtvording tidak sesuai lagi dengan kebutuhan perdagangan saat ini, maka dipandang perlu untuk membuat peraturan perundang-undangan yang baru, yang sesuai dengan kondisi zaman.
Pada 12 Agustus 1999 Pemerintah RI telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Sebelum masalah ini diatur dalam Reglement on de bergerlijke rechtsvordering (reglement hukum acara perdata) yang disingkat Rv.S.1847-52 Jo 1849-63. Ketentuan ini diberlakukan oleh pemerintah Indonesia berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 untuk mengisi kekosongan hukum. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak hanya mengatur tentang arbitrase salah satu alternatif penyelesaian sengketa, tetapi diatur juga tentang alternatif penyelesaian perkara dalam bentuk yang lain seperti negosiasi, konsiliasi dan mediasi. Sedangkan yang dimaksud dengan alternatif penyelesaian sengketa adalah pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dengan cara mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadilan negeri. Penyelesaian dapat dilakukan sendiri oleh para pihak dalam bentuk negosiasi, dapat pula melalui bantuan pihak ketiga yang netral di luar para pihak yang disebut mediasi, media damai atau konsiliasi dan dapat pula dilaksanakan penyelesaian melalui arbitrase.
Dewasa ini perkembangan penyelesaian perkara di Pengadilan dengan menggunakan ADR mulai tampak dan dikembangkan di Indonesia. Cara penyelesaian sengketa yang dipilih dengan penerapan Lembaga Damai dalam proses perkara perdata di pengadilan, hal ini bertujuan untuk memberikan kepuasan bagi masyarakat pencari keadilan dan dalam rangka pembatalan perkara kasasi yang menumpuk di Mahkamah Agung. Dalam proses perkara perdata di pengadilan perdamaian tidak hanya bisa diusahakan hakim pada sidang pertama saja, akan tetapi dapat terus dilakukan sebelum ada putusan.[4] Persoalan yang akan dikaji melalui tulisan ini adalah bagaimana penerapan lembaga damai dalam proses perkara perdata di pengadilan?




536  JURNAL  HUKUM  NO.4  VOL.16  OKTOBER  2009: 533-550
 
Lembaga Damai atau Konsiliasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsiliasi diartikan sebagai usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan penyelesaian perselisihan. Konsiliasi dapat juga diartikan sebagai upaya membawa pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan permasalahan antara kedua belah pihak secara negosiasi. Konsiliasi, adalah suatu proses penyelesaian sengketa alternatif yang melibatkan pihak ketiga atau lebih, dimana pihak ketiga yang diikutsertakan untuk menyelesaikan sengketa adalah seseorang yang secara professional sudah dapat dibuktikan kehandalannya.[5]
Konsiliasi berasal dari bahasa Inggris “Conciliation” yang berarti perdamaian. Dari beberapa pengertian yang diberikan oleh para pakar hukum dapat diketahui bahwa konsiliasi tidak berbeda jauh pengertiannya sebagaimana tersebut dalam Pasal 1851 s/d 1864 KUH Perdata, yakni kesepakatan para pihak untuk mengakhiri sengketa di luar pengadilan, kesepakatan itu dibuat tertulis. Berdasarkan Pasal 6 ayat (7) dan (8) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999, kesepakatan tertulis itu harus didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu 30 hari terhitung sejak tanggal penandatanganan dan dilaksanakan dalam waktu 30 hari terhitung sejak tanggal pendaftaran di Pengadilan Negeri. Kesepakatan tertulis hasil konsiliasi bersifat final dan mengikat para pihak untuk melaksanakannya.
Konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa secara damai dengan melibatkan pihak ketiga. Prosedur konsiliasi dilaksanakan secara sukarela. Artinya para pihak dapat menempuh cara ini apabila kedua belah pihak setuju, dan pelaksanaannya bersifat rahasia. Namun demikian pelaksanaan tersebut tidak mengurangi hak masing-masing pihak untuk melangkah ke proses atau tata cara penyelesaian lebih lanjut. Cara penyelesaian sengketa seperti ini dapat dilaksanakan setiap saat. Begitu pula para pihak dapat mengakhirinya setiap saat manakala prospek penyelesaiaannya gagal. Manakala diakhiri pihak pemohon dapat mengajukan pembetulan panel untuk mengakhiri sengketa.
Konsiliasi menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 adalah suatu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan tujuan akhir terwujudnya perdamaian di antara pihak-pihak yang bersengketa. Pelaksanaan konsiliasi ini dapat dilaksanakan pada tiap tingkat pengadilan yang sedang berlangsung, baik di luar pengadilan maupun di dalam pengadilan asalkan sengketa tersebut belum dapat putusan hakim yang diberikan oleh beberapa pakar hukum di negara-negara Eropa yang mengatakan bahwa konsiliasi itu merupakan langkah awal perdamaian sebelum sidang pengadilan dilaksanakan. Dalam upaya penyelesaian sengketa, konsiliasi tidak harus mengadakan pertemuan dan pembicaraan dengan kedua belah pihak di suatu tempat, tapi bisa dihasilkan shuttle negotiation antara pihak. Putusan yang diambilnya menjadi resolusi yang dapat dipaksakan kepada kedua belah pihak.
Pertama sekali konsiliasi dalam penyelesaian sengketa internasional diatur dalam perjanjian antara Swedia dan Chili pada tahun 1920 kemudian diikuti oleh negara lain di Eropa dan pada tahun 1988 The Rule of Conciliation and Arbitration dibentuk oleh ICC yang terdiri dari 11 pasal. Dalam peraturan ini ditentukan bahwa semua sengketa yang mempunyai sifat internasional dapat diserahkan kepada konsiliasi oleh seorang konsiliasi yang ditunjuk oleh ICC. Para pihak yang mengajukan konsiliator harus mengajukan permohonan kepada secretariat kamar dagang internasional dengan mengungkapkan secara ringkas maksud permohonan dan disertai dengan biaya yang ditentukan oleh ICC.
Adapun tahap-tahap konsiliasi yang diterapkan oleh ICC sebagai berikut:[6]
1.      Setelah permohonan diterima oleh secretariat ICC, kepaniteraan pengadilan segera memberitahukan kepada pihak lawan tentang adanya permohonan konsiliasi tersebut. Pihak tersebut diberi waktu 15 hari untuk memberitahukan kepaniteraan apakah ia setuju atau menolak untuk ikut dalam konsiliasi tersebut.
2.      Jika ia bermaksud berpartisipasi dalam konsiliasi tersebut, maka ia segera memberitahukan kepaniteraan dalam jangka waktu yang telah ditentukan itu, jika jawaban negative maka dianggap konsiliasi ditolak dan untuk itu pihak kepaniteraan harus segera memberitahukan kepada pihak yang mengajukan permohonan.
3.      Jika para pihak setuju diadakan penyelesaian sengketa dengan konsiliasi, maka kepaniteraan pengadilan segera menunjuk seorang konsiliator untuk bertindak dalam menyelesaikan sengketa yang mereka hadapi.
4.      Selanjutnya konsiliator segera memberitahukan kepada para pihak tentang penunjukkannya dan menetapkan batas waktu kepada para pihak untuk mengemukakan argumentasi masing-masing. Konsiliator menerapkan model konsiliasi yang cocok dan sesuai dengan tipe sengketa yang mereka alami dengan tanpa memihak (impartial), kesamaan (equality) dan keadilan (justice).
5.      Konsiliator menentukan proses konsiliasi harus dijaga dan juga setiap saat dapat diminta kepada salah satu pihak yang bersengketa untuk menyerahkan informasi tambahan yang diperlukan dalam rangka penyelesaian sengketa.
6.      Sifat kerahasiaan proses konsiliasi harus dijaga dan harus dihormati oleh setiap orang yang terlibat dalam proses konsiliasi, apapun kapasitasnya.
7.      Proses konsiliasi berakhir berdasarkan persetujuan para pihak yang bersengketa, persetujuan ini juga harus tetap bersifat rahasia (confidential) kecuali ada kesepakatan lain. Atau bisa  juga atas  laporan konsiliator yang menyatakan bahwa proses konsiliasi tidak berhasil. Atau adanya pernyataan salah satu pihak yang menyatakan bahwa konsiliasi tidak diperlukan lagi sebab tidak membawa hasil yang diharapkan.
538  JURNAL  HUKUM  NO.4  VOL.16  OKTOBER  2009: 533-550
 
 


ADR di pengadilan dalam bentuk konsiliasi biasanya dihubungkan dengan Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg yang berisi sebagai berikut:[7] Pertama, Jika pada hari yang ditentukan, kedua belah pihak datang, maka Pengadilan Negeri mencoba dengan perantaraan keduanya akan memperdamaikan mereka; Kedua, Jika perdamaian yang demikian itu terjadi maka tentang hal- hal yang diperdamaikan diperkuat sebuah akta, dan kedua belah pihak diwajibkan untuk mentaati perjanjian yang diperkuat itu, dan surat (akta) itu akan berkekuatan hukum dan akan diperlakukan sebagai putusan hakim yang biasa; Ketiga, Tentang keputusan yang demikian itu tidak diizinkan orang minta apel; Kempat, Jika pada waktu dicoba akan memperdamaikan kedua belah pihak itu perlu memakai seorang juru bahasa, maka dalam hal itu dituntut peraturan pasal yang berikut. Akta yang dimaksud adalah acte van vergelijk atau acte van dading.
Konsiliasi juga dihubungkan dengan Pasal 1851 KUH Perdata di dalam melaksanakan perdamaian yang mempunyai unsur-unsur.[8] Pertama, Adanya persetujuan antara para pihak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan menurut Pasal 1321 KUH Perdata kesepakatan tidak sah kalau dibuat dengan kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang) atau dengan cara penipuan (bedrog); Kedua, Persetujuan untuk melakukan sesuatu harus sesuai dengan Pasal 1851 KUH Perdata yakni untuk menyerahkan sesuatu barang; Ketiga, Persetujuan atau perdamaian atas sengketa yang ada sebagaimana tersebut dalam pasal 1851 KUH Perdata, yaitu perdamaian atas perkara yang telah ada baik yang sedang berjalan di pengadilan maupun yang diajukan ke pengadilan sehingga tidak menjadi perkara di pengadilan; Keempat, Apabila terjadi maka perdamaian itu harus diwujudkan dalam sebuah akta tertulis yang disebut dengan acte van dading atau acte vergelijk. Acte vergelijk dibuat dengan persetujuan hakim, sedangkan acte dading dibuat tanpa persetujuan hakim.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa konsiliasi yang tidak mengikat adalah alat yang digunakan dalam menyelesaikan perselisihan apabila permasalahannya melibatkan para ahli atau masalah hukum, bukan mempermasalahkannya melibatkan para ahli atau masalah hukum bukan mempermasalahkan masalah tanggung jawab, pihak dalam berselisih tersebut adalah badan pemerintah atau pemberi jaminan (insure), para pihak bermaksud tetap menjaga masalahnya tertutup dan rahasia, para pihak memiliki penilaian berbeda atas masalah tersebut, berdasarkan perbedaan penterjemahan hukum atau perbedaan kesimpulan atas suatu fakta yang telah disepakati. ADR konsiliasi ini paling banyak dipergunakan di Amerika Serikat, karena dianggap paling efektif dan efisien dalam menyelesaikan sengketa.[9]

Perdamaian Menurut Hukum Acara Perdata
Pada setiap permulaan sidang, sebelum pemeriksaan perkara, hakim diwajibkan mengusahakan perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara.[10] Perdamaian yang dimaksud di sini adalah perdamaian yang dikenal dengan istilah “dading” dalam praktik hukum acara perdata, yakni persetujuan/perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak yang bersengketa untuk mengakhiri perselisihan terhadap suatu perkara yang sedang diselesaikan oleh pengadilan. Perdamaian yang dilaksanakan itu didasarkan kepada Pasal 130 HIR/Pasal 154 R.Bg dan Pasal 1851 KUH Perdata. Dalam pasal-pasal ini hanya memuat kewajiban bagi hakim untuk mengadakan perdamaian terlebih dahulu sebelum memulai memeriksa pokok perkara.
Untuk jelasnya di sini akan dituangkan bunyi pasal-pasal tersebut secara lengkap. Pasal 1851 KUH Perdata: “Perdamaian adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Perjanjian ini tidaklah sah melainkan jika dibuat secara tertulis”.
Pasal 130 HIR/Pasal 154 R.Bg:
(1)   Apabila pada hari yang telah ditentukan kedua belah pihak hadir dalam persidangan, maka pengadilan dengan perantara ketua sidang berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara”.
(2)   Jika perdamaian tercapai pada waktu persidangan dilaksanakan maka dibuat suatu akta perdamaian yang mana kedua belah pihak dihukum untuk melaksanakan perjanjian perdamaian itu. Akta perdamaian ini mengikat para pihak yang membuatnya dan dijalankan sebagai putusan biasa”.

Dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atas, tidak dijelaskan secara rinci tentang mekanisme perdamaian yang harus dilaksanakan oleh hakim. Hanya disebutkan bahwa dalam memeriksa suatu perkara perdata, hakim harus berusaha mendamaikan kedua belah pihak, terlebih dahulu sebelum memeriksa pokok perkara. Sebenarnya statement ini kurang tepat sebab pada permulaan sidang umumnya para hakim belum mengetahui secara pasti bagaimana duduk perkara yang sesungguhnya. Baru diketahuinya apabila pemeriksaan sudah berjalan, hakim baru mempunyai gambaran yang jelas tentang duduknya perkara dalam sengketa yang disidangkan. Pada saat itulah, waktu yang tepat untuk mendamaikan kedua belah pihak, hal ini dapat dilaksanakan terus-menerus sebelum perkara itu diputus sebagaimana yang dikemukakan dalam Pasal 31 Rv.
540  JURNAL  HUKUM  NO.4  VOL.16  OKTOBER  2009: 533-550
 
Oleh karena itu mekanisme dan teknik usaha perdamaian tersebut diserahkan kepada hakim yang bersangkutan, maka berhasil atau tidaknya usaha perdamaian tersebut dengan sendirinya akan bergantung pada usaha maksimal dari hakim yang bersangkutan. Hakim yang menyidangkan perkara itu harus semaksimal mungkin agar para pihak mau berdamai dan mengakhiri sengketa yang sedang berlangsung. Tidaklah cukup bila hakim yang menyediakan perkara itu hanya sekedar menanyakan kesediaan berdamai kepada masing-masing pihak yang berperkara, maka besar kemungkinan usaha perdamaian itu akan berhasil mencapai kesepakatan. Jika damai berhasil dilaksanakan maka dibuat akta damai yang selanjutnya bila para pihak memerlukannya dapat ditetapkan sebagai putusan perdamaian yang mengikat para pihak seperti putusan yang telah inkrah.
Dalam melaksanakan usaha damai persidangan ada beberapa syarat yang harus diperhatikan oleh hakim dalam melaksanakannya antara lain:

1.      Harus ada persetujuan kedua belah pihak.
Kedua belah pihak yang bersengketa hendaknya menyetujui secara sukarela untuk mengakhiri sengketa yang sedang berlangsung di pengadilan. Persetujuan sukarela itu timbul dari kehendak yang murni kedua belah pihak yang bersengketa bukan kehendak sepihak atau karena kehendak hakim. Dalam kaitan ini berlaku sepenuhnya Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu adanya kata sepakat secara sukarela antara kedua belah pihak, cara membuat persetujuan itu objek persetujuan mengenai hal tertentu dan didasarkan alasan yang diperbolehkan atau causa yang halal.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam persetujuan damai yang dibuat itu tidak boleh ada cacat pada setiap unsur esensial persetujuan. Dalam persetujuan itu tidak boleh terkandung unsur-unsur kekeliruan, paksaan dan penipuan. Apabila suatu persetujuan yang dibuat itu mengandung cacat formal, maka berdasarkan Pasal 1859 KUH Perdata, persetujuan damai yang dibuat itu dapat dibatalkan apabila terjadi kekhilafan mengenai orangnya atau pokok yang diperselisihkan. Demikian juga tentang faktor kesalahpahaman sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1860 KUH Perdata, yaitu salah paham mengenai duduknya perkara atau kesalahan dalam menentukan atas hak yang batal dapat merupakan alasan yang membatalkan putusan perdamaian.

2.      Putusan Perdamaian Harus Mengakhiri Sengketa
Bila perdamaian terjadi, maka perdamaian yang sudah terjadi itu harus mengakhiri semua sengketa menyeluruh dan tuntas. Bila tidak tuntas dan tidak menyeluruh semua objek yang disengketakan maka persetujuan damai itu tidak memenuhi syarat formal sahnya suatu putusan perdamaian. Apabila pelaksanaan damai tidak dilaksanakan secara menyeluruh dan tuntas, dikhawatirkan di kemudian hari di antara kedua belah pihak yang berperkara akan mengalami sengketa yang sama untuk diselesaikan di pengadilan sehingga tidak ada kepastian hukum.
Putusan perdamaian yang dibuat dalam persidangan majelis hakim itu harus betul-betul mengakhiri sengketa yang sedang terjadi antara para pihak yang berperkara secara tuntas dan betul-betul mengakhiri sengketa secara keseluruhan. Agar putusan perdamaian itu sah dan mengikat para pihak yang berperkara, maka putusan damai itu dibuat dengan sukarela dan formulasi perdamaian itu bagi para pihak. Agar hal ini dapat berjalan dengan baik maka peranan hakim sangatlah menentukan dalam mengajak para pihak untuk berdamai dan mengakhiri sengketa yang sedang berlangsung di pengadilan.

3.      Perdamaian atas Sengketa yang Telah Ada
Dalam Pasal 1851 KUH Perdata dikemukakan bahwa syarat untuk dapat dijadikan dasar suatu putusan perdamaian adalah sengketa para pihak yang sudah terjadi, baik yang sudah terwujud maupun yang sudah nyata terwujud tetapi baru akan diajukan ke pengadilan, sehingga perdamaian yang dibuat oleh para pihak dapat mencegah terjadinya perkara yang masuk ke pengadilan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa isi Pasal 1851 KUH Perdata, bahwa perdamaian itu dapat lahir dari suatu sengketa perdata yang sedang diperiksa di pengadilan maupun yang belum diajukan ke pengadilan, atau perkara yang sedang tergantung di pengadilan sehingga persetujuan perdamaian yang dibuat oleh para pihak dapat mencegah terjadinya perkara di pengadilan.
542  JURNAL  HUKUM  NO.4  VOL.16  OKTOBER  2009: 533-550
 
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa putusan perdamaian itu hanya terjadi dalam sengketa perdata dan persengketaan secara nyata telah terwujud secara resmi. Format perdamaian yang diajukan kepada pengadilan dapat dibuat bentuk akta notaris atau juga akta di bawah tangan.

4.      Bentuk Perdamaian Harus Tertulis
Dalam Pasal 1851 KUH Perdata juga dikemukakan bahwa persetujuan perdamaian itu sah jika dibuat secara tertulis. Syaratnya adalah imperatif tidak ada persetujuan perdamaian apabila dilaksanakan secara lisan di hadapan pejabat yang berwenang. Akta perdamaian harus dibuat secara tertulis dengan format yang telah ditetapkan oleh peraturan yang berlaku. Sesuai tahap dibuatnya persetujuan perdamaian, dikenal 2 (dua) macam bentuk persetujuan:

a.      Bentuk Putusan Perdamaian
Dikatakan persetujuan perdamaian berbentuk putusan perdamaian apabila terhadap persetujuan dituangkan dalam putusan pengadilan. Dalam hal ini perselisihan antara kedua belah pihak sudah diajukan ke pengadilan berupa gugatan perdata. Apabila para pihak sepakat berdamai, persetujuan perdamaian yang dibuat dimintakan kepada hakim untuk menjadi acuan putusan pengadilan. Tidak menjadi soal apakah persetujuan itu tercapai sebelum atau sesudah perkara itu diperiksa pengadilan di persidangan.
Pada dasarnya para pihak boleh meminta putusan perdamaian pada saat permulaan pemeriksaan, pertengahan atau pada akhir pemeriksaan. Hakim yang dimintakan untuk menjatuhkan putusan perdamaian haruslah terlebih dahulu memperhatikan adanya persetujuan perdamaian yang dirumuskan dalam suatu akta, dan persetujuan perdamaian itu tidak boleh bertentangan atau menyimpang dari pokok perkaranya. Meskipun yang merumuskan materi isi persetujuan perdamaian adalah inisiatif para pihak, namun tidaklah mengurangi peran hakim untuk memberikan bantuan. Hakim dapat memberikan petunjuk dan dapat berperan sebagai pendamping ketika isi persetujuan dirumuskan.
Adalah penting untuk diperhatikan hakim ada tidaknya tanda tangan kedua belah pihak dibubuhkan dalam akta persetujuan yang dibuat. Sekiranya didapati salah satu pihak enggan untuk menandatangani, hakim haruslah menolak permintaan putusan perdamaian, dan melanjutkan pemeriksaan perkaranya.
Apabila ternyata para pihak telah bersama-sama menandatangani akta persetujuan dan isi persetujuan perdamaian itu menyimpang dari pokok perkara yang dipersengketakan, maka hakim akan menjatuhkan putusan perdamaian dengan mengambil alih sepenuhnya isi persetujuan dan dictum/amar putusan menghukum kedua belah pihak untuk mentaati dan melaksanakan isi persetujuan perdamaian.

b.      Bentuk Akta Perdamaian
Jika usaha perdamaian berhasil maka buatlah Akta Perdamaian yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang telah dibuat antara mereka.[11] Jika persetujuan terjadi tanpa campur tangan hakim disebut persetujuan dalam bentuk akta perdamaian. Apabila yang disengketakan para sudah atau belum diajukan sebagai gugatan ke pengadilan. Misalnya sengketa sudah diajukan sebagai gugatan ke pengadilan, lalu campur tangan hakim para pihak menghadap notaris membuat persetujuan damai dalam bentuk akta perdamaian dan dengan adanya akta perdamaian itu para pihak mencabut perkaranya dari pengadilan dan tidak meminta persetujuan itu dikukuhkan dengan putusan pengadilan.
Putusan perdamaian berbeda dengan akta perdamaian, pada putusan perdamaian melekat kekuatan eksekutorial, dan sewaktu-waktu masih terbuka hak para pihak untuk mengajukan sebagai gugatan perkara. Seperti telah dikemukakan terdahulu pada putusan perdamaian melekat kekuatan hukum yang mengikat kedua belah pihak. Dari bunyi Pasal 1851 KUH Perdata demikian pun dari isi Pasal 130 HIR/Pasal 154 R.Bg dapat ditarik kesimpulan[12].
1)      Putusan perdamaian disamakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
2)      Terhadap putusan perdamaian tertutup upaya hukum baik banding maupun kasasi dan peninjauan kembali (PK), hal ini sejalan dengan pengertian yang melekat pada suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Suatu putusan disebut sebagai putusan yang telah berkekuatan hukum tetap ialah putusan yang tidak dapat diajukan banding atau kasasi;
3)      Dalam putusan perdamaian melekat kekuatan hukum mengikat para pihak atau kepada orang yang memperoleh hak dari mereka. Para pihak tidak dapat membatalkan putusan perdamaian secara sepihak, dan para pihak wajib mentaati dan melaksanakan sepenuhnya isi putusan perdamaian.
544  JURNAL  HUKUM  NO.4  VOL.16  OKTOBER  2009: 533-550
 
 


Sesuai dengan putusan Mahkamah Agung RI tanggal 9 Nopember 1976 No. 1245.K/Sip/1974 bahwa “Pelaksanaan suatu perjanjian dan tafsiran suatu perjanjian tidak dapat didasarkan semata-mata atas kata-kata perjanjian tersebut, tetapi juga berdasarkan sifat objek persetujuan serta tujuan yang telah ditentukan dalam perjanjian.
Uraian tersebut di atas menunjukkan apabila ternyata salah satu pihak mengingkari isi putusan perdamaian, maka pihak yang lain dapat langsung mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Negeri, supaya pihak yang ingkar itu dipaksa memenuhi isi putusan perdamaian, dan jika perlu dapat diminta bantuan alat negara. Dalam hal ini semua ketentuan eksekusi terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap berlaku sepenuhnya terhadap eksekusi putusan perdamaian.

Penerapan Lembaga Damai dalam Proses Perkara di Pengadilan
Pada persidangan perkara perdata yang telah ditetapkan kedua belah pihak hadir, maka hakim harus berusaha mendamaikan mereka (Pasal 130 HIR, 154 R.Bg).[13] Salah satu hasil Rakernas Mahkamah Agung RI di Yogyakarta pada tanggal 24 s/d 27 September 2001 adalah pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama dalam menerapkan upaya perdamaian (lembaga dading) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 130 HIR/154 R.Bg dan pasal-pasal lainnya dalam hukum acara yang berlaku di Indonesia, khususnya Pasal 132 HIR/156 R.Bg. Sehubungan dengan hal tersebut di atas guna mencapai pembatasan kasasi secara substansial dan prosedural. Mahkamah Agung RI telah memberikan petunjuk kepada semua hakim melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 tahun 2002 agar melaksanakan hal-hal sebagai berikut:
1.      Agar semua majelis hakim yang menyidangkan perkara dengan sungguh-sungguh mengusahakan perdamaian dengan menerapkan Pasal 130 HIR/154 R.Bg tidak hanya sekedar formalitas mengajukan perdamaian;
2.      Hakim yang ditunjuk bertindak sebagai fasilitator  yang membantu para pihak dari segi waktu, tempat dan pengumpulan data-data dan argumentasi para pihak dalam rangka persiapan ke arah perdamaian;
3.      Pada tahap selanjutnya apabila dikehendaki para pihak yang berperkara hakim atau pihak lain yang ditunjuk dapat bertindak sebagai mediator yang akan memperlakukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok persoalan yang disengketakan dan berdasarkan informasi yang diperoleh serta keinginan masing-masing pihak dalam rangka perdamaian, mencoba menyusun proposal perdamaian yang kemudian dikonsultasikan dengan para pihak untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan (win-win solution);
4.      Hakim yang ditunjuk sebagai fasilitator oleh para pihak tidak dapat menjadi hakim majelis pada perkara yang bersangkutan untuk menjaga objektivitas;
5.      Untuk melaksanakan tugas sebagai fasilitator maupun mediator kepada hakim yang bersangkutan diberikan paling lama 3 (tiga) bulan, dan dapat diperpanjang apabila ada alasan untuk itu dengan persetujuan ketua Pengadilan Negeri, dan waktu tersebut tidak termasuk waktu penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 6 tahun 1992;
6.      Persetujuan para pihak dituangkan dalam persetujuan tertulis dan ditandatangani, kemudian dibuat akta perdamaian (dading) agar dengan akta perdamaian itu  para pihak dihukum menempati apa yang disepakati/disetujui tersebut;
7.      Keberhasilan penyelesaian perkara melalui perdamaian dapat dijadikan bahan penilaian (reward) bagi hakim yang menjadi fasilitator dan mediator;
8.      Apabila usaha-usaha yang dilakukan oleh hakim tersebut tidak berhasil hakim yang bersangkutan melaporkan kepada Ketua Pengadilan /Ketua Majelis Hakim dan pemeriksaan perkara dapat dilanjutkan oleh Majelis Hakim dengan tidak menutup peluang bagi para pihak untuk berdamai selama proses pemeriksaan berlangsung;
9.      Hakim yang menjadi fasilitator/mediator wajib membuat laporan kepada Ketua Pengadilan secara teratur;
10.  Apabila terjadi proses perdamaian maka proses perdamaian tersebut dapat dijadikan alasan penyelesaian perkara melebihi dari ketentuan 6 (enam) bulan.

Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa suatu sengketa atau beda pendapat dalam sengketa perdata dapat diselesaikan atas dasar itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadilan, dengan cara mengadakan pertemuan dalam kesepakatan tertulis. Apabila kesepakatan antara para pihak tidak berhasil, maka atas kesepakatan tertulis para pihak diselesaikan melalui bantuan penasehat ahli atau melalui mediator. Apabila penasehat ahli atau mediator yang dituju tidak dapat mempertemukan kedua belah pihak yang bersengketa, maka penasehat ahli atau mediator itu dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga ADR untuk menunjuk seorang mediator, yang dalam waktu 30 hari berusaha untuk mencapai kesepakatan. Bila kesepakatan dicapai maka dibuat perjanjian tertulis, bila tidak terdapat kesepakatan maka perkara diajukan kepada lembaga arbitrase resmi atau adhoc.
Jika dilihat ketentuan sebagaimana tersebut di atas, maka timbul pertanyaan apakah mekanisme tersebut dapat diterapkan sebagaimana yang tersebut dalam SEMA Nomor 1 Tahun 2002 di atas? Hal ini didasarkan kepada beberapa perbedaan antara lain:
1.     
546  JURNAL  HUKUM  NO.4  VOL.16  OKTOBER  2009: 533-550
 
Kewenangan pengadilan terhadap suatu perkara yang telah didaftarkan di kepaniteraan adalah menindaklanjuti perkara untuk diselesaikan, dengan demikian perkara itu sudah berada pada tahap litigasi, sehingga pertemuan secara langsung dari pihak-pihak yang berperkara merupakan suatu hal yang sulit. Padahal SEMA Nomor 1 Tahun 2002 dalam mengatasi hal ini langsung menunjuk fasilitator yang dapat bertindak sebagai penasehat ahli yang akan mempertemukan para pihak yang bersengketa dengan mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Hal ini tentu akan menimbulkan kesulitan di lapangan;
2.      Dalam SEMA Nomor 1 Tahun 2002 ditetapkan bahwa fasilitator dan mediator yang menangani perkara tersebut adalah bukan anggota majelis. Bagaimana kalau pengadilan yang bersangkutan memiliki hanya tiga orang hakim, apakah mediasi dapat dilaksanakan?
3.      Dalam SEMA Nomor 1 Tahun 2002 ditetapkan langkah-langkah yang harus diambil oleh mediator atau fasilitator. Dalam pelaksanaan langkah-langkah tersebut tentu memerlukan biaya tidak sedikit. Biaya untuk keperluan tersebut diambil dari mana dan bagaimana perhitungannya di dalam biaya perkara;
4.      Apabila hakim bertindak sebagai mediator atau fasilitator itu bukan dari anggota majelis, maka siapakah yang akan menuangkan perjanjian itu dalam akta perdamaian? Hal ini didasarkan karena dalam SEMA itu belum terlihat bahwa perkara yang bersangkutan telah ditetapkan oleh majelisnya selama berlangsung proses mediasi yang dilaksanakan oleh mediator atau fasilitator yang ditunjuk;
5.      Hasil kerja penasehat ahli dan mediator dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dituangkan di dalam perjanjian yang disepakati bersama dan apabila tidak berhasil kesepakatan maka dianjurkan untuk dibawa kepada lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc. Sedangkan hasil kerja mediator atau fasilitator dalam SEMA Nomor 1 Tahun 2002 diserahkan kepada Majelis Hakim. Tetapi timbul masalah kepada Majelis Hakim yang mana sebab sejak penunjukan hakim sebagai mediator atau fasilitator, Majelis Hakim untuk memeriksa perkara itu belum terbentuk.

Melihat kepada masalah-masalah sebagaimana tersebut di atas, maka di bawah ini akan dicoba membuat beberapa rumusan tentang mekanisme penanganan upaya perdamaian lebih jauh sebagaimana yang telah diatur oleh SEMA Nomor 1 Tahun 2002 sebagai berikut:[14]
1.      Setelah perkara gugatan didaftarkan di  kepaniteraan pengadilan maka ketua pengadilan mengambil langkah dengan menetapkan majelis hakim, kemudian menetapkan seorang hakim untuk bertindak sebagai fasilitator dengan catatan hakim tersebut bukan anggota majelis yang akan menangani perkara tersebut, kecuali bila hakim di pengadilan tersebut tidak mencukupi;
2.      Setelah penetapan majelis hakim dilaksanakan, berkas perkara yang bersangkutan diserahkan kepada Ketua Majelis Hakim. Selanjutnya ketua majelis yang bersangkutan menyerahkan berkas perkara hakim kepada mediator atau fasilitator.
3.      Hakim mediator atau fasilitator membantu para pihak baik dari segi waktu, tempat dan pengumpulan data dan argumentasi para pihak dalam rangka persiapan ke arah perdamaian. Dalam hal ini mediator dan fasilitator dapat mempertemukan para pihak;
4.      Setelah data-data telah diperoleh secara lengkap, hakim mediator atau fasilitator menyusun proposal perdamaian. Proposal yang disusun itu, dikonsultasikan dengan para pihak berperkara agar dapat persetujuan. Apabila proposal itu disetujui oleh para pihak maka disusunlah suatu perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak;
5.      Perjanjian yang telah ditandatangani oleh para pihak yang berperkara maka diserahkan kepada ketua bersama berkas perkaranya yang selanjutnya dituangkan dalam akta perdamaian dan putusan perdamaian;
6.      Apabila proposal yang disusun oleh mediator atau fasilitator tidak disetujui oleh para pihak yang berperkara, maka berkas diserahkan kepada ketua majelis hakim. Selanjutnya ketua majelis hakim memeriksa perkara tersebut sesuai dengan hukum acara yang berlaku, dengan tidak menutup kemungkinan usaha perdamaian tetap dilanjutkan sampai perkara yang bersangkutan diputuskan;
7.      Proses upaya perdamaian sebagaimana tersebut di atas maksimum 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang apabila dianggap perlu dengan persetujuan ketua pengadilan. Proses pemeriksaan perkara sampai putusan maksimum 6 (enam) bulan sesuai dengan SEMA Nomor 6 Tahun 1992;
8.      Berhasil atau tidaknya usaha perdamaian dilaksanakan, hendaklah dilaporkan kepada ketua pengadilan dan perjalanan berkas perkara sebagaimana tersebut dalam lampiran.

Bertindak sebagai mediator atau fasilitator bagi seorang hakim bukanlah pekerjaan mudah, karena biasanya hakim bertindak selalu formal bahkan terkesan baku. Hal ini dapat dimengerti karena hakim cenderung menggunakan otoritas yang melekat pada jabatannya. Sangat jarang hakim menguasai sepenuhnya ilmu komunikasi, psychology secara aplikatif, mereka kebanyakan hanya menguasai dari segi formalnya saja. Oleh karena itu para hakim hendaknya mempelajari teknik penerapan ilmu-ilmu tersebut dalam melaksanakan tugasnya.
Kiat-kiat yang harus dilaksanakan oleh seorang hakim yang bertindak sebagai mediator atau fasilitator sebagai berikut:[15] Pertama, mediator harus netral, hakim harus berada di tengah-tengah para pihak yang bersengketa ataupun di dalamnya; Kedua, mengisolasi proses mediasi, tidak boleh terpengaruh dari kondisi internal maupun eksternal; Ketiga, mediator atau fasilitator tidak berperan sebagai hakim, ia bukan hakim yang menentukan siapa yang salah dan benar, juga bukan bertindak dan berperan sebagai penasehat hukum, tidak pula berperan sebagai penasehat atau pengobat, mediator hanya berperan sebagai penolong.

Penutup
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, peran lembaga damai dalam proses perkara di pengadilan dapat dilaksanakan melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 sebagai berikut: agar semua majelis hakim yang menyidangkan perkara dengan sungguh-sungguh mengusahakan perdamaian dengan menerapkan ketentuan Pasal 130 HIR/154 R.Bg tidak hanya sekedar formalitas mengajukan perdamaian, hakim yang ditunjuk bertindak sebagai fasilitator yang membantu para pihak dari segi waktu, tempat dan pengumpulan data-data dan argumentasi para pihak dalam rangka persiapan ke arah perdamaian. Pada tahap selanjutnya apabila dikehendaki para pihak yang berperkara hakim atau pihak lain yang ditunjuk dapat bertindak sebagai mediator yang akan mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok persoalan yang disengketakan dan berdasarkan informasi yang diperoleh serta keinginan masing-masing pihak dalam rangka perdamaian, mencoba menyusun proposal perdamaian yang kemudian dikonsultasikan dengan para pihak untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan (win-win solution), hakim yang ditunjuk sebagai fasilitator oleh para pihak tidak dapat menjadi hakim majelis pada perkara yang bersangkutan untuk menjaga objektivitas. Untuk pelaksanaan tugas sebagai fasilitator maupun mediator kepada para hakim yang bersangkutan diberikan paling lama 3 (tiga) bulan, dan dapat diperpanjang apabila ada alasan untuk itu dengan persetujuan Pengadilan Negeri, dan waktu tersebut tidak termasuk waktu penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1992. Persetujuan para pihak dituangkan dalam persetujuan tertulis dan ditandatangani, kemudian dibuat akta perdamaian (dading) agar dengan akta perdamaian itu para pihak dihukum menempati apa yang disepakati/disetujui tersebut. Keberhasilan penyelesaian perkara melalui perdamaian dapat dijadikan bahan penilaian (reward) bagi hakim yang menjadi fasilitator atau mediator. Apabila usaha-usaha yang dilakukan oleh hakim tersebut tidak berhasil hakim yang bersangkutan melaporkan kepada ketua pengadilan/ketua majelis hakim dan pemeriksaan perkara dapat dilanjutkan oleh majelis hakim dengan tidak menutup peluang bagi para pihak untuk berdamai selama proses pemeriksaan berlangsung. Hakim yang menjadi fasilitator/mediator wajib membuat laporan kepada ketua pengadilan secara teratur; Apabila terjadi proses perdamaian maka proses perdamaian tersebut dapat dijadikan alasan penyelesaian perkara melebihi dari ketentuan 6 (enam) bulan.
548  JURNAL  HUKUM  NO.4  VOL.16  OKTOBER  2009: 533-550
 
Penetapan Lembaga Damai dalam proses perkara perdata di pengadilan haruslah lebih dikembangkan, untuk memberikan kepuasan bagi masyarakat pencari keadilan dan dalam rangka pembatasan perkara kasasi. Hakim pengadilan tingkat pertama dalam perannya sebagai mediator dalam lembaga damai, haruslah berusaha membawa dan mengajak para pihak yang bersengketa membicarakan bersama penyelesaian sengketa dan mempersilahkan mereka bermusyawarah, mencari dan menemukan pemecahan solusi yang baik dan dapat diterima secara mufakat bagi para pihak.

Daftar Pustaka

A. Parta M. Zen, dan Maria Louisa, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta: AusAid, YLBHI, PSHK dan IALDF, 2006.

Achmad Fedyani Saifuddin, Konflik dan Integrasi Perbedaan Paham dalam Agama Islam. Jakarta: CV. Rajawali, 1986.

Arifin A. Tumpa, Arbitrase dan Mediasi. Jakarta: Kerjasama MARI dengan Pusat Pengkajian Hukum, 2003.

Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.

Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utana, 2001.

Kriekhoff, Valerine J.L, Penyelesaian Sengketa Alternatif. Jakarta: Gramedia Pustaka, 1999.

Maria S.W. Sumardjono, et.all., Mediasi Sengketa Tanah. Jakarta: Kompas, 2008.

Mahkamah Agung RI, Bunga Rampai Hukum Acara Perdata. Jakarta: Pusdiklat MARI, 2000.

Mukti Arto, Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1999.

Riduan Syahrani, Buku Materi Hukum Acara Perdata, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1988.



[1] Valerine J.L, Kriekhoff, Penyelesaian Sengketa Alternatif, Jakarta, Gramedia Pustaka 1999, hlm. 224-225.
[2] Achmad Febyani Saifuddin, Konflik dan Integrasi Perbedaan Paham dalam Agama Islam. Jakarta: Rajawali, 1986, hlm. vii-viii.
[3] Ibid., hlm 7
[4] Riduan Syahrani, Buku Materi Hukum Acara Perdata, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 66.
[5] Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 3.
[6] Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utana, 2001, hlm. 93-95.
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Mahkamah Agung RI, Bunga Rampai Hukum Acara Perdata. Jakarta: Pusdiklat MARI, 2004, hlm. 74.
[10] Mukti Arto, Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1999, hlm. 92.
[11] Mukti Arto, Loc.Cit.
[12] A. Patra M. Zen dan Maria Louisa, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta: AusAid, YBLHI, PSHK dan IALDF, 2006, hlm. 207.
[13] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1988, hlm. 87.
[14] Arifin A. Tumpa, Arbitrase dan Mediasi. Jakarta: Kerjasama MARI dengan Pusat Pengkajian Hukum, 2003, hlm. 9.
[15] Maria S.W. Sumardjono, et.all., Mediasi Sengketa Tanah. Jakarta: Kompas, 2008, hlm. 65.